TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah video viral menunjukkan penganiayaan oleh seorang istri kepada suaminya yang diunggah akun Instagram @tante.officialy, pada Selasa 17 Desember 2019. Dalam video berdurasi 2 menit 14 detik itu terlihat sang istri memukul suaminya yang mengalami stroke menggunakan tongkat berjalan.
Sang suami nampak susah berbicara dengan lancar, terlihat juga darah keluar dari bagian wajahnya. Pihak berwenang menduga kalau sang istri diduga mengalami gangguan jiwa dan sedang menjalani pemeriksaan selama dua pekan di RS Jiwa Grogol, Jakarta.
Banyak Warganet yang bereaksi keras atas perbuatan yang dilakukan sang istri hanya dari cuplikan video viral tersebut. Dari sudut pandang psikologi apa yang sekiranya tengah dialami oleh sang istri? Seraya menunggu hasil proses pemeriksaan dan observasi, Psikolog Klinis Muflihah Fahmi atau akrab disapa dengan Lya Fahmi mengatakan kita tidak bisa menghakimi sang istri hanya dari video tanpa melihat seperti apa konteks kejadian sebelumnya.
Menurut Lya kita terlebih dulu memahami seperti apa konteks kekerasan terjadi, bahkan bisa dilihat seperti apa pola relasi hubungan mereka dari sebelum suami kena stroke. Banyak hal bisa terjadi, termasuk bisa jadi karena perasaan lelahnya mengurus suami yang sakit, sang istri belum bisa mengatasi perasaan negatifnya dan memulihkan dirinya sendiri.
"Menurut saya yang perlu dijadikan catatan saya memperhatikan banyak dari kita tidak aware dengan kondisi emosi dan stres yang dihadapi. Ok, jika emosi bisa aware tapi kemudian respon apa yang dirasakan itu kerap diabaikan atau diingkari," ucapnya saat dihubungi Tempo.co, Rabu 18 Desember 2019.
Misalnya, Lya memberi contoh ketika seseorang punya masalah atau represi seringkali orang mengatakan ketika ada masalah lebih baik menerima dan membiarkan masalah terjadi bahkan dan cenderung mengabaikan.
"Kalau kita tidak mengakui masalah itu dan tidak paham dengan emosi kita
membuat kita kemudian tidak bisa menyelesaikan masalah, kita akan menganggap masalah itu ada tapi tidak dirasakan. Hal itulah yang menjadi akar masalah kita gagal melakukan regulasi emosi," ucap Magister Profesi Psikologi Klinis lulusan UGM ini.
Menurut Lya, syarat untuk melakukan regulasi emosi ialah dengan mengenali, mengakui, dan menyadari emosi yang kita rasakan. Karena hanya dengan mengenali dan mengakui emosi yang kita rasakan maka bisa melakukan regulasi emosi.
Kegagalan mengenali emosi diri sendiri dengan baik maka kita tidak bisa melakukan regulasi masalah, karena tidak mengetahui masalah sesungguhnya. Lalu apa konsekuensinya jika tidak bisa meregulasi emosi? Tentu akan terjadi emosi yang keluar dalam bentuk yang tidak tepat, seperti misalnya emosi meledak dan mendadak tanpa tahu masalahnya apa. "Lalu kita tergerak untuk tiba-tiba memukul karena tidak bisa menahan impuls untuk memukul, hal itu yang terjadi ketika tidak mengelola emosi kita dari awal masalah muncul," pungkas Lya.