TEMPO.CO, Jakarta - Jangan anggap sepele ketika anak menjadi picky eater atau tukang pilih-pilih makanan. Jika Anda biarkan, tumbuh kembangnya akan terganggu, bahkan, mengidap stunting alias gagal tumbuh.
Baca juga: Anak Susah Makan Makanan Sehat, Lakukan 6 Tips Ini
Picky eater ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang terhenti, perubahan perilaku, lesu, kehilangan selera makan, dan kekurangan berat badan. Sayangnya, banyak orang tua menganggap sepele bahkan menjadikan susu sebagai solusi anak susah makan. Padahal, susu hanya pelengkap bukan solusi.
Prof. Dr. dr. rini sekartini Sp.A(K) dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menjelaskan, susu salah satu makanan untuk anak pada masa bayi. Terutama pada 6 bulan pertama, ASI makanan utama bayi. Setelah 6 bulan, ditambahkan makanan pendamping ASI mengingat kebutuhan gizi anak meningkat. Setelah 1 tahun anak dapat diberikan makanan keluarga berupa nasi lauk pauk, sayur, dan buah plus susu.
"Sebagian besar ibu mungkin anaknya pernah menjadi picky eater. Mereka hanya mau makan makanan tertentu, sering tutup mulut, menolak makanan yang diberikan. Bahkan, sampai menangis. Susu memang kaya gizi, tapi kandungan zat besi di dalamnya biasanya kurang optimal. Dalam 1000 cc susu hanya mengandung 0,5 sampai 2 miligram zat besi. Sedangkan bayi 1 tahun butuh 6 gram. Itulah mengapa sebaiknya orang tua tidak hanya mengandalkan susu," kata Rini.
Sementara itu, Sudibyo Supardi dari National Institute of Health Research and Development pernah meneliti anak prasekolah di Jakarta pada 2015. Penelitian itu menunjukkan hasil prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6 persen. Adapun 44,5 persen di antaranya menderita malnutrisi ringan sampai sedang sementara 79,2 persen dari subjek penelitian mengalami kesulitan makan lebih dari 3 bulan. Kelompok usia terbanyak yang kesulitan makan, usia 1 sampai 5 tahun yakni mencapai 58 persen.
Fakta lain menyebut di Indonesia pada 2012 terdapat sekitar 53 persen anak di bawah usia 5 tahun menderita gizi buruk akibat kurangnya makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari. Ini menyebabkan banyak anak Indonesia mengalami stunting.
"Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak (pertumbuhan tubuh maupun otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu lama. Akibatnya, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan berpikir," jelasnya. Pemantauan status gizi pada 2017 menunjukkan prevalensi balita stunting Indonesia masih tinggi, yakni 29,6 persen di atas batasan yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia alias WHO yakni 20 persen.