TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hipertensi paru dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, Bambang Budi Siswanto, mengatakan hipertensi paru terjadi ketika tekanan darah paru mencapai di atas 25 mmHg. Tekanan darah normal pada arteri pulmonal biasanya berkisar antara 8 hingga 20 mmHg.
Menurutnya, untuk memeriksa tekanan darah pada paru berbeda dengan pemeriksaan tensi biasa. Pemeriksaan dilakukan melalui proses kateterisasi jantung kanan dengan biaya yang terbilang cukup mahal, yaitu mencapai hingga Rp10 juta.
Artikel lain:
Dokter Ungkap Kaitan Obat Pelangsing dan Hipertensi Paru
Dokter: Rokok Tak Cuma Mengganggu Paru tapi Juga Lambung
Paparan Polusi Udara Terus Menerus Tingkatkan Risiko Kanker Paru
Waspadai Cepatnya Perkembangan Kanker Paru, Ini Kata Dokter
Sebelum dilakukan proses kateterisasi, dokter akan memulainya dengan serangkaian pemeriksaan, mulai dari pengecekan detak jantung dengan stetoskop. Jika iramanya tidak beraturan dan terdapat tanda-tanda khusus, maka akan dilanjutkan dengan rontgen dada dan rekam jantung, tes darah, tes fungsi paru.
“Jika pada deteksi awal ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada hipertensi paru, harus dilakukan proses kateterisasi jantung kanan sebagai tes paling akurat untuk mendiagnosis hipertensi paru,” jelasnya.
Deteksi sedini mungkin menurutnya perlu untuk dilakukan untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Pasalnya, tingkat kematian hipertensi paru lebih tinggi dibandingkan kanker payudara dan kanker kolorektal.
Sementara itu, Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia, Indriani Ginoto, mengatakan dari data yang dihimpun YHPI selama beberapa tahun terakhir, prevalensi Hipertensi Paru di dunia adalah 1 pasien per 10.000 penduduk. Artinya diperkirakan terdapat 25.000 pasien hipertensi paru di Indonesia.
Menurut catatan YHPI, hipertensi paru lebih sering diderita anak-anak hingga usia dewasa pertengahan, juga lebih sering dialami perempuan dengan perbandingan 9:1, dengan mean survival sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.
Banyaknya perempuan yang menderita hipertensi paru karena penyebab penyakit ini sebagian besar didasari oleh berbagai penyakit yang banyak diderita perempuan, seperti lupus dan penyakit jantung bawaan.
“Sayangnya, penanganan hipertensi paru di Indonesia terkendala oleh berbagai faktor, termasuk belum luasnya kesadaran terhadap bahaya penyakit hipertensi paru karena dari sekitar 25.000 yang mungkin menderita hipertensi, baru 120 pasien yang aktif dari seluruh Indonesia sehingga banyak yang tidak terdeteksi,” ungkap Indriani.
Hal ini menyebabkan semakin banyak penderita yang meninggal dunia bahkan kurang dari 2 tahun. Di dunia, menurut Indriani, saat ini terdapat sekitar 14 jenis molekul obat hipertensi paru dan baru tersedia 4 jenis di Indonesia. Dia berharap agar akses terhadap obat-obatan penyakit hipertensi paru termasuk obat-obatan golongan sildenafil dengan dosis tertentu dapat dipercepat implementasinya.