TEMPO.CO, Bandung - Tutik Asmawi telah satu dekade aktif berkreasi dan berkampanye daur ulang sampah di kalangan ibu rumah tangga. Tak hanya di sekitar lingkungan rumahnya di daerah Petukangan Utara, Jakarta Selatan, Tutik telah berkeliling memenuhi undangan ke berbagai daerah di Indonesia. “Saya relawan, tidak dibayar pun saya berangkat,” kata perempuan berusia 60 tahun itu di sela acara Artup Festival di Bandung, Jawa Barat.
Tutik yang akrab disapa Umi, punya alasan menyasar ibu rumah tangga dan keluarga. Menurut dia, penghuni rumah merupakan pengendali dan pengelola sampah yang utama saat ini. Termasuk untuk menekan pola konsumtif yang berdampak pada pengurangan limbah organik maupun anorganik.
Baca juga:
Yulianti Umrah, Ibu Semua Anak
Ni Made Sekardi, Penebar Virus Sedekah Ilmu
Iim Fahima Kampanye Queenrides, Peduli Pengendara Perempuan
Upaya Tutik umumnya sama seperti aktivis lingkungan lain yang mengolah sampah menjadi barang berguna. Bungkus kopi dan kantong kresek, misalnya, setelah dibersihkan lalu dirajut atau dianyam menjadi tas, topi wanita, dompet, atau hiasan bunga plastik yang cantik. Bedanya, keterampilan itu yang diajarkannya dengan senang hati, tidak dilandasi dengan motif ekonomi.
Peserta pelatihannya diajarkan mengolah limbah untuk mengurangi buangan sampah. “Kalau motifnya untuk penghasilan, ketika barang tak laku mereka akan berhenti,” kata dia. Tutik menekankan pentingnya ibu rumah tangga dan anak-anaknya berkreasi dengan limbah yang dihasilkan.
Setidaknya barang tersebut bisa dipakai untuk keperluan sendiri. Kreasi yang unik atau bagus hasil karya peserta atau kelompok pelatihan lainnya, kata Tutik, sanggup diproduksi banyak untuk memenuhi pesanan dan menghasilkan uang.
Tutik yang menyebut dirinya sebagai petani sampah, juga berkreasi dengan dedaunan tua atau yang berguguran. Lebih dari sekadar limbah organik atau pupuk alami, dedaunan tua itu masih punya potensi ekonomi yang lain. Dengan pengolahan khusus, daun tersebut bisa diolah menjadi tinggal kerangkanya saja (skeleton leaves). “Di Jepang disebut happa yang artinya daun,” katanya.
Tutik telah menggeluti pengolahan happa selama empat tahun. Happa di tangan Tutik, sebagian dirangkai menjadi buket, serta media melukis. Kerangka daun itu juga bisa diwarnai dengan zat pewarna tekstil dan digambar. Setangkai rangkaian kerangka daun itu umum dijual sekitar Rp 15 ribu. Sebagian menjadi hiasan gelas maupun stoples. Istimewanya, happa buatannya telah diekspor ke Jepang. “Permintaan minimal 300 sampai 3.000 lembar sekali kirim,” katanya. Per lembar dihargainya Rp 2.000.
Tutik membuat happa dengan cara alami. Resepnya berasal dari pelajaran sekolah dulu. Di halaman rumah, dia menyiapkan bak khusus berisi lumpur untuk mengubur dedaunan mati. Setiap empat hari sekali dia memanen hasilnya. “Peneliti dari Jepang tertarik karena hasilnya bisa cepat,” ujarnya.
ANWAR SISWADI
Berita lainnya:
Cara Mengelola Gaji agar Tetap Kaya di Akhir Bulan
Bunda Juga Perlu Bikin Resolusi Tahun Baru, Apa Saja Isinya
Warna Pakaian Dalam yang Bawa Keberuntungan pada 2017