TEMPO.CO, Jakarta - Ni Made Sekardi tak pernah lupa pengalaman pahit saat hendak mengikuti pelatihan bisnis yang diadakan sebuah lembaga pendidikan di Yogyakarta pada 2013. Dia ingin mendapatkan ilmu untuk mengembangkan usaha percetakan yang digelutinya dan menjadi pengusaha sukses. Sekar tetap datang ke pelatihan tersebut meski dia baru membayar Rp 500 ribu dari ongkos pelatihan sebesar Rp 3 juta. “Suami sudah mengingatkan, saya tak mungkin bisa ikut karena belum lunas,” kata Sekar kepada Tempo, Minggu 11 Desember 2016.
Kekhawatiran suami Sekar, Priyono, itu nyata adanya. Panitia melarangnya mengikuti pelatihan. Perasaan sedih, kecewa, dan marah bercampur aduk ketika ia kembali ke rumah dengan tangan hampa. Kenangan masa kecil kembali terngiang ketika ayah Sekar berpulang, sehingga dia terpaksa bekerja membantu mencari uang dengan membuat kerajinan tangan. Bahkan dia tak mampu membayar formulir pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi negeri senilai Rp 70 ribu.
Sejak itu, Sekar bertekad untuk tidak perhitungan soal ilmu. Tapi dia tak tahu harus memulai dari mana. Lambat laun bisnis yang digeluti bersama suaminya, D’Sekar Printing, mulai menggeliat. Punya sedikit modal dan jejaring pertemanan membuat Sekar mantap membentuk komunitas Sedekah Ilmu pada 14 Februari 2015, lalu berbentuk yayasan enam bulan setelahnya.
Awalnya mereka menggelar pelatihan pemasaran melalui media sosial yang dimentori rekan-rekan Sekar. Jumlah peserta yang mendaftar mencapai 50 orang, sedangkan kapasitas ruang pelatihan, yang tak lain adalah kantor D’Sekar Printing, hanya mampu menampung separuhnya. Walhasil, kelas pelatihan dibagi pagi dan sore. “Tidak ada peserta yang membayar dan mentor pun tak dibayar. Semua atas dasar sukarela,” ujar Sekar.
Sukses dengan pelatihan awal, Sekar kembali menggelar kegiatan serupa beberapa pekan kemudian. Tak disangka, minat para peserta di acara berikutnya membeludak hingga 500 orang. Sekar kelimpungan melayani mereka karena kapasitas ruangan dan peralatan yang terbatas. Bermodal uang urunan, Sekar bersama teman-temannya menyewa gedung di Kotabaru.
Sedekah Ilmu ini juga menggelar kelas reguler, seperti bisnis properti, motivasi, dan bahasa. Kelas keterampilan teknisi servis mesin cuci, televisi, hingga pembuatan pupuk organik pun ada. Semua itu tak terlepas dari dukungan para relawan yang tergugah berbagi pengetahuan sesuai dengan latar belakang keilmuan masing-masing.
Pemilik usaha kue Klarisan Bakery, Lalitya Xaviera, 30 tahun, adalah salah seorang “lulusan” Sedekah Ilmu. Setelah rutin mengikuti berbagai pelatihan, dia semakin lincah berbisnis. Lalitya lantas memberi imbal jasa atas pengetahuan cuma-cuma yang dia terima dengan cara menjadi mentor. “Kontribusi dari kami tak harus bersifat materiil,” katanya.
Keberhasilan Sekar menggerakkan Sedekah Ilmu tecermin dari ribuan alumnus yang tak hanya berasal dari Yogyakarta, tapi juga kota-kota lain, yakni Surabaya, Purworejo, dan Sukoharjo. Bahkan dia meladeni permintaan untuk mendatangkan mentor ke Pontianak, Bali, dan Bengkulu. Pembiayaan kegiatan, menurut Sekar, diperoleh dari kocek pribadi pengurus dan sumbangan tak mengikat. Tercatat ada 12 pengurus yang menggawangi kegiatan Sedekah Ilmu. Jumlah itu belum termasuk 20 tenaga pengajar sukarela, seperti blogger Arief Ramadhan, spesialis Twitter untuk bisnis Taufik Iswara, juga ahli ilmu branding Budi.
Kerja keras Sekar dan rekan-rekannya kini berbuah pengakuan. Pada Sabtu, 10 Desember lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memintanya memberikan motivasi tentang berbagi ilmu di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. “Sedekah ilmu itu tak harus menunggu pintar. Lebih baik diajarkan daripada ilmu ikut terkubur ketika kita mati,” katanya.
NI MADE SEKARDI
Tempat, tanggal lahir: Nagasepaha, Singaraja, Bali, 25 Oktober 1983
Suami: Priyono
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Desa Nagasepaha Buleleng (1990-1996)
- SLTPN 3 Sukasada (1996-1999)
- SMAN 2 Denpasar Bali (1999-2002)
Pengalaman:
- Inspirator Puspa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
- Pelatihan Manajemen Rumah sakit di Medika Farma Husada, Yogyakarta (2002-2003)
PITO AGUSTIN RUDIANA | RIKY FERDIANTO
Berita lainnya:
Restoran `Perompak` Nan Elegan
Olah Fisik Plank Sedang Naik Daun, Apa Itu?
6 Perilaku yang Menghancurkan Hubungan Cinta