TEMPO.CO, Jakarta - Anda mungkin pernah mendengar tentang depresi pascamelahirkan, tapi ada kondisi terkait lainnya yaitu depresi perinatal. Kondisi ini mengacu pada depresi yang terjadi sebelum dan/atau setelah kehamilan. Sedangka depresi pascapersalinan, sebaliknya, hanya terjadi setelah kehamilan. Kondisi tersebut kini menjadi sorotan setelah Britney Spears berbagi pengalamannya dengan depresi perinatal selama kehamilan sebelumnya.
"Sulit karena ketika saya hamil saya mengalami depresi perinatal," tulis penyanyi itu dalam unggahan Instagram-nya, saat mengumumkan kehamilan anak pertamanya dengan tunangannya Sam Asghari.
Menurut penyanyi 40 tahun itu, depresi yang dialaminya benar-benar mengerikan. "Orang-orang tidak membicarakannya saat itu," lanjutnya. "[Beberapa] orang menganggap berbahaya jika seorang wanita mengeluh seperti itu dengan bayi di dalam dirinya ... tapi sekarang wanita membicarakannya setiap hari," ujar Spears yang bersyukur bahwa tidak perlu lagi menyimpan rasa sakit itu sendiri.
Dari ulasan tahun 2020, depresi perinatal mempengaruhi 10 hingga 20 persen orang di Amerika Serikat selama atau setelah kehamilan, yang merupakan alasan lain mengapa stigma yang disinggung oleh Britney Spears bisa sangat berbahaya. Depresi dapat membuat Anda merasa terisolasi dan tidak berdaya, seolah-olah hanya Anda sendiri yang melalui perjuangan ini.
Melansir laman Pop Sugar, National Institute of Mental Health atau NIMH mendefinisikan depresi perinatal sebagai gangguan mood yang terjadi selama kehamilan atau setelah melahirkan, sehingga mencakup depresi prenatal (depresi yang dimulai selama kehamilan) dan depresi pascapersalinan (yang dimulai setelah bayi lahir). Menurut tinjauan tahun 2020, depresi perinatal disebabkan oleh interaksi kompleks berbagai faktor, termasuk genetika, sistem neuroendokrin yang memodulasi respons tubuh Anda terhadap stresor, dan faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan dan situasi sosial Anda.
Meskipun depresi perinatal dapat mempengaruhi siapa saja selama atau setelah kehamilan, faktor risikonya meliputi riwayat pribadi atau keluarga dari gangguan depresi, bipolar, atau kecemasan. Kehamilan yang tidak diinginkan, sulit, dan/atau traumatis. Kelahiran ganda (melahirkan kembar, kembar tiga, dan lainnya). Masalah kesehatan yang sedang berlangsung dengan bayi. Riwayat kekerasan fisik atau seksual. Kurangnya dukungan sosial. Mereka yang mengidentifikasi sebagai "warisan Indian Amerika/Alaska dan Penduduk Asli Hawaii" memiliki insiden depresi perinatal 30 persen lebih tinggi, menurut Klinik Cleveland.
Menurut NIMH, gejala depresi perinatal dapat bervariasi antar pasien. Tetapi gejala umum termasuk:
- Perasaan sedih, cemas, kekosongan, keputusasaan, ketidakberdayaan, dan/atau lekas marah yang terus-menerus
- Kehilangan minat atau kesenangan dalam hobi atau aktivitas yang sebelumnya Anda nikmati
- Kelelahan yang tidak normal
- Kesulitan konsentrasi; mengingat; membuat keputusan; dan/atau tidur, termasuk saat bayi sedang tidur
- Masalah ikatan dengan bayi, atau keraguan terus-menerus tentang kemampuan Anda untuk merawat mereka
- Pikiran tentang kematian, bunuh diri, atau menyakiti diri sendiri atau bayinya
Depresi perinatal adalah kondisi medis, dan Anda harus menemui profesional kesehatan mental atau penyedia layanan kesehatan untuk diagnosis dan pilihan pengobatan. Gangguan ini biasanya diobati dengan terapi, obat-obatan seperti antidepresan, atau kombinasi keduanya. Selain itu, para ahli menekankan bahwa depresi perinatal biasanya tidak hilang dengan sendirinya dan bahwa pengobatan diperlukan untuk kesehatan orang tua dan anak. Karena stigma yang melekat seputar depresi perinatal, beberapa orang mungkin merasa sulit untuk mencari bantuan.
Baca juga: Britney Spears Hamil Anak Ketiga Ungkap Depresi Kehamilan Sebelumnya
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.