TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai penelitian menyebut kekerasan kontraproduktif dalam mendisiplinkan anak. Meski banyak penelitian memaparkan efek buruk perlakuan kasar orang tua terhadap buah hati mereka, masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan fisik maupun verbal.
Mengapa kekerasan terhadap anak seolah sulit disudahi? Berdasarkan studi yang dilakukan kelompok peneliti di Departemen Perkembangan Sosial Universitas Washington, Amerika Serikat, kekerasan merupakan kebiasaan yang bisa diwariskan turun-temurun.
Orang tua yang semasa kecil mengalami kekerasan fisik maupun emosional cenderung mengulang pola perilaku yang sama terhadap anak-anak mereka.
Penelitian itu juga mengungkap pola asuh yang buruk, meliputi kekerasan fisik dan emosional, sering diturunkan setidaknya ke tiga generasi berikutnya. Efeknya dalam keluarga akan terus terjadi selama puluhan tahun.
“Jika pernah menerima kekerasan, Anda mungkin juga akan menjadi pelaku kekerasan. Sama seperti kecanduan alkohol. Jika orang tua minum alkohol di rumah, kemungkinan besar anak-anaknya akan menjadi peminum,” ungkap psikolog sosial sekaligus penulis buku Nobody’s Baby Now: Reinventing Your Relationship with Your Mother and Father, Susan Newman.
Meski sulit, mata rantai kekerasan dalam keluarga bisa diputus dengan langkah-langkah berikut.
Baca juga:
Jangan Sepelekan Dampak Kekerasan Psikis pada Anak
Hindari Kekerasan Verbal pada Anak
Anak Alami Kekerasan, Ini Tandanya
#Akui kekerasan yang pernah menimpa Anda
Untuk memutus rantai kekerasan pada anak, Anda harus jujur kepada diri sendiri. Kadang trauma membuat seseorang tidak mengakui kekerasan yang pernah diterimanya. Newman mengatakan menoleh ke belakang dengan perspektif yang objektif sangat penting.
“Menjadi dewasa membuat Anda mampu berpikir mana pola yang menyakitkan dan membahayakan sehingga Anda tidak ingin melakukannya kepada anak,” kata Newman.
Jika merasa tersakiti akibat perlakuan kasar orang tua, jangan jadikan anak tempat pelampiasan dendam. Jadikan anak sarana memperbaiki kesalahan orang tua sehingga rantai kekerasan terputus.
#Mengobrol dengan pasangan
Luka dan trauma akibat perlakuan kasar di masa kecil bisa lebih dalam daripada yang Anda bayangkan. Para peneliti di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat, mengatakan kekerasan yang dialami dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan pada pikiran dan banyak sistem tubuh.
Untuk mengatasi hal ini, Newman menyarankan Anda sering mengobrol dan curhat kepada sahabat atau pasangan. Ini dapat membantu meredakan ketegangan di otak dan meningkatkan kemampuan menghadapi masalah dengan sehat. Pikiran yang tenang membuat emosi tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan fisik atau verbal saat menghadapi tingkah anak.
#Pertahankan prinsip
Kebanyakan kakek-nenek ikut campur dalam mengurus cucu. Jika Anda tidak punya prinsip kuat dalam menentukan pola asuh anak, sulit menghindari intervensi ini.
Anda tidak harus memutus kontak, apalagi menyudahi tali kekeluargaan dengan orang tua. Keberadaan kakek-nenek bisa berdampak positif terhadap anak-anak selama mereka menghormati batasan-batasan yang dibuat terkait pengasuhan anak.
“Anda bisa mengatakan ke orang tua, 'Kalian sudah mendapat giliran mengasuh anak, sekarang giliran kami.' Bisa juga dengan bilang, 'Kami tahu kalian ingin yang terbaik untuk cucu, tapi kami tidak setuju dengan cara kalian.' Pertahankan prinsip itu karena sekarang Anda lah yang menjadi contoh paling berpengaruh bagi anak-anak,” jelas Newman.
#Evaluasi diri
Terkadang banyak hal yang tidak sesuai harapan terjadi sehingga memancing emosi. Anda kemudian marah, berteriak, dan memukul anak. Setelah itu, Anda dilanda perasaan bersalah dan merasa gagal menjadi orang tua. Dalam situasi ini, ingatlah kembali motivasi dan tujuan mendidik anak.
“Coba evaluasi diri dan bertanya dalam hati, 'Mengapa saya berteriak hingga memukul anak?' Dari situlah semuanya akan berubah,” paparnya.