TEMPO.CO, Jakarta - Saat ini stroke sudah menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei pada 2014, stroke pernah menjadi penyakit nomor satu paling berbahaya yang bisa dialami pria dan wanita.
Kasus stroke juga semakin meningkat. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dibuat setiap lima sampai enam tahun sekali, pada 2013, prevalensi stroke di Indonesia sebanyak 12,1 per 1.000 penduduk. Angka tersebut sudah jauh lebih tinggi daripada 2007, yang hanya 8,3 per 1.000 penduduk.
Apa yang menjadi persoalan tersulit? Ketua Kelompok Studi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Salim Harris menilai tantangan terbesar upaya menekan penyakit stroke di negara ini adalah tingkat kesadaran.
"Yang paling susah tantangan (menekan stroke) di Indonesia, yaitu kesadaran. Kita sudah bilang berkali-kali, jangan merokok, jangan merokok, tapi merokok terus," ujarnya.
Salim ingin, andai bisa, mereka yang memiliki kebiasaan merokok kemudian terkena stroke tidak usah diobati dengan BPJS Kesehatan, karena rokok merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Adapun faktor risiko lain pengundang datangnya stroke adalah hipertensi dan gaya hidup, terutama tidak berolahraga.
Baca juga:
Ketahui Faktor Risiko Stroke, Salah Satunya Kurang Bergerak
Pertolongan Pertama untuk Orang yang Terkena Stroke
Penderita Stroke Makin Banyak, Penyebabnya Kian Beragam
Menurut Salim, buruknya kesadaran menghindari risiko stroke di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia relatif sama. Namun kondisi itu berbeda jauh dengan di Eropa dan Amerika Serikat.
"Kalau di Amerika Serikat atau Eropa, kesadarannya berbeda sekali, sudah jauh lebih bagus. Kesadaran pergi ke rumah sakit juga lebih bagus. Bukan karena medisnya lebih canggih," katanya.
Salim tidak sepakat bila ada yang berpandangan bahwa teknologi dan pengetahuan medis di Indonesia kalah dari negara lain di Asia, termasuk Singapura. Dia menjamin kualitas teknologi dan ilmu medis Indonesia tidak kalah dari Singapura, khususnya dalam penanganan penyakit stroke.
Suatu ketika, dia mengikuti pertemuan dokter di Vietnam. Ketika itu, dokter dari Singapura kaget saat mengetahui Indonesia berkemampuan melakukan tindakan door-to-needle (penanganan pasien stroke sejak masuk rumah sakit sampai mendapat tindakan khusus) tidak lebih dari 60 menit.
"Mereka (Singapura) belum bisa. Namun memang seperti di Eropa Timur, seperti di Praha, di sana mereka bisa door-to-needle itu 8 menit. Kenapa? Karena mereka populasinya sedikit, sehingga semua data kesehatan mereka sudah terekam, computerized. Mereka juga punya ambulans yang di dalamnya sudah ada CT scan. Jadi, begitu pasien masuk ke rumah sakit, CT scan-nya sudah kelar," kata Salim.