TEMPO.CO, Jakarta - Memiliki anak berkebutuhan khusus membuat orang tua harus memberikan perhatian ekstra. Berbagai perawatan yang dibutuhkan sang anak pun tak hanya menguras tenaga secara fisik, tapi juga mental. Karena itu, orang tua dengan anak berkebutuhan khusus pun perlu dukungan lebih dari orang di sekitarnya.
Baca juga:
Tak Selamanya MSG Buruk buat Kesehatan
Dicap Berbahaya, Faktanya Makanan Ini Menyehatkan
Gejala Haid yang Menunjukkan Ada Masalah Kesehatan
Komunitas bisa menjadi salah satu wadah bagi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus untuk berbagi masalah. Menurut psikolog Lifiana Dewi Pohan, mengikuti komunitas menjadi penting untuk keluarga pasien yang membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Keluarga membutuhkan ruang untuk mendiskusikan informasi yang membingungkan. "Ini menjadi dukungan sosial bagi keluarga tersebut," kata Lifiana. Dengan adanya lingkungan terdekat yang menunjukkan perhatian, kepedulian, dan kasih sayang, keluarga itu merasa tak sendirian menghadapi situasi yang sulit.
Lifiana menambahkan, pelibatan para ahli diperlukan dalam komunitas seperti ini, seperti dokter, psikolog, tenaga medis, ahli hukum, atau ahli ekonomi. Mereka bisa membantu menjawab, bahkan mengatasi masalah yang dihadapi anggota komunitas. Terlebih, sekarang banyak informasi tak benar yang beredar. Adanya para ahli dapat membantu menjawab dan meluruskan informasi yang menimbulkan kebingungan bagi pasien dan keluarga," kata pengajar bidang studi psikologi klinis di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Dokter spesialis anak, Anindita Soetadji, merupakan salah satu dokter yang bergabung dalam komunitas keluarga dengan anak yang membutuhkan perawatan kesehatan jangka panjang. Anindita tergabung dalam Little Heart Community, komunitas orang tua dengan anak yang menderita penyakit jantung bawaan.
Dokter yang biasa disapa Anin ini mengatakan banyak orang tua berkeluh kesah tentang penyakit anaknya. Sebagai dokter, ia biasanya memberikan edukasi dan bimbingan. "Ikut nangis kalau mereka nangis, ikut happy kalau mereka happy, njewer kalau ada yang enggak bener," ujarnya.
Anin merasakan perbedaan keluarga pasien yang mengikuti komunitas dan tidak. Mereka yang mengikuti komunitas, kata dia, cenderung lebih terdidik, berpengetahuan dan berwawasan lebih luas, serta memiliki lebih banyak teman atau koneksi.
"Karena dalam komunitas itu para anggota berkomunikasi," tuturnya. Mereka juga lebih percaya diri dan termotivasi untuk sembuh. Setidaknya, mereka mau berusaha hidup lebih sehat dan mau memotivasi orang lain agar tak mengalami kejadian seperti mereka.
Salah satu orang tua yang merasakan manfaat bergabung dengan komunitas adalah Dian Intania Lesmana. Anaknya yang kini berusia 12 tahun menderita sindrom Dandy Walker, yakni malformasi bawaan sejak lahir pada bagian belakang otak, yang mengendalikan gerak dan daerah sekitar, yang dipenuhi cairan. Kondisi ini membuat perkembangan Arya jauh lebih lambat dibanding kawan-kawan seusianya.
Dian bergabung dengan grup WhatsApp Dandy Walker Parent sekitar lima tahun lalu. Melalui komunitas ini, ia banyak mendapatkan masukan saat kebingungan dengan kondisi Arya. Sejak bergabung dengan komunitas ini pun Dian jadi tak gampang panik dan paham bagaimana mengatasi jika anaknya kejang atau sedang kumat, kapan harus dibawa ke dokter, atau kapan cukup dirawat sendiri.
Bahkan kini ia pun bisa ikut menjawab pertanyaan para orang tua yang masih panik menghadapi kondisi anaknya. Di sisi lain, karena kesamaan nasib para anggota grup, mereka sudah begitu dekat meski baru sekali bertemu. Dengan grup ini pun ia bisa mendapatkan teman-teman baru.
Ia juga bisa berbagi tentang perkembangan Arya sekecil apa pun, misalnya saat anaknya mulai bisa berjalan pada usia sembilan tahun. "Perkembangan sedikit apa pun pasti cerita. Karena lokasinya jauh-jauh, dengan berbagi di grup WhatsApp saja sudah benar-benar membantu,” ucapnya.
DWI NUR SANTI | NUR ALFIYAH