Tenun Sumba, Motifnya Khusus Prosesnya 6 Bulan, Mahalkah?
Editor
Susandijani
Jumat, 18 Agustus 2017 13:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Proses pembuatan kain tenun ikat Sumba tak hanya melibatkan tangan para perajin, juga banyak melibatkan campur tangan alam. Begitu disebutkan Ketua Lukamba Nduma Luri Fidelis Tasman Amat.
Lukamba Nduma Luri artinya benang yang memberi ruh adalah kelompok perajin yang dikenal semangatnya dalam mempertahankan warisan budaya di Pulau Sumba, dataran savana di belahan Indonesia bagian Timur. (bacajuga: The Art Of Table Setting, Belajar Menata Meja dari Buku )
Dari awal, proses pembuatan kain berbahan baku kapas asli ini menggunakan teknik ikat dengan memanfaatkan daun gewang untuk menciptakan motif. Setelah itu, kain dijemur dalam sepekan setiap sekali pencelupan warna.
Setelah semua warna sudah selesai, kain dicelup dengan minyak kemiri. Setelah kering, kain ditaruh di dalam keranjang untuk proses pemeraman atau pematangan selama sebulan.
"Dalam proses pembuatan kain, terkadang kami harus menunggu tanpa melakukan apa-apa. Proses ini lamanya sekitar satu bulan agar warna semakin matang. Kami memang sering tergoda untuk melewatkan proses ini. Namun, itu sama saja mengurangi nilainya," ujarnya, belum lama ini.
Membuat kain Sumba, lanjutnya, berbeda dengan memelihara sapi. Semakin tua sapi, semakin kurus dan semakin murah harganya. Sementara kain Sumba, semakin lama disimpan, semakin mahal harganya karena semakin matang warnanya.
Demi menjaga nilai luhur, kain tenun Sumba hingga kini masih menggunakan pewarna alam, yakni akar mengkudu untuk warna merah, daun indigo untuk warna hitam, dan kayu kuning atau sogan untuk warna kekuningan. Palet warna inilah yang menjadi pembeda kain Sumba.
Motif
Motif dengan bentuk bervariasi dibentuk dengan ukuran yang masif. Banyak motif yang terinspirasi dari hewan, misalnya motif kuda yang melambangkan harga diri perempuan, maka kain ini juga digunakan sebagai mas kawin.
Selain hewan, kain papanggan atau kain yang memvisualisasikan prosesi pemakaman raja, juga sering dipakai saat acara adat. (baca:Tenun Ikat Sumba Jangan Digunting, Begini Alasannya)
Dengan waktu sekitar enam bulan, pengerjaan dan keterampilan pemotifan khusus, tak heran kain ini dihargai pada kisaran Rp10 juta – Rp300 juta.
Hal ini langsung menyita perhatian lembaga baru yang digagas oleh Dian Sastrowardoyo dan rekan-rekannya. Yayasan Dian Sastrowardoyo berupaya menjembatani para perajin dengan pecinta kain tradisional yang banyak tersebar di perkotaan.
Salah satunya menggalang dana melalui penjualan kain tenun koleksi kelompok penenun Lukamba Nduma Luri. Keuntungan dari penjualan digunakan untuk pengadaan akses air bersih di Wairinding, Kecamatan Pandawai bekerja sama dengan Waterhouse Project dan renovasi rumah adat Prainatang, Sumba Timur.
Penduduk Wairinding masih mengalami keterbatasan dengan akses air bersih. Mereka harus berjalan sekitar 2 jam untuk mencapai sumber mata air yang terletak di bukit yang sulit dijangkau.
BISNIS