TEMPO.CO, Jakarta - Dhyta Caturani seperti diberangus. Festival Belok Kiri dan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta, dua acara yang ia usung, dilarang polisi. Namun Dhyta dan teman-temannya menolak tunduk. "Acara tidak boleh berhenti sebagai bentuk perlawanan terhadap represi," kata Dhyta kepada Tempo.
Dari rencana semula digelar di Taman Ismail Marzuki, Festival Belok Kiri akhirnya digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, 27 Februari lalu. Sedangkan acara nonton bareng Pulau Buru Tanah Air Beta dipindahkan dari Goethe Institut ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, 16 Maret lalu.
Semangat perlawanan Dhyta, 41 tahun, tumbuh sejak belia. Pada masa sekolah menengah atas, perempuan asal Surabaya ini mengirimkan surat dukungan kepada mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang pada awal 1990-an itu sering berorasi menentang pemerintah Soeharto. "Dari situ, saya pingin sekali kuliah di UGM," ucapnya. Harapannya terkabul. Dalam penerimaan mahasiswa UGM 1994, namanya tercatat di Jurusan Sosiologi.
Masuk kampus impian tidak membuat Dhyta tunduk. Saat orientasi mahasiswa baru, dia menentang larangan pergantian kemeja orientasi studi dan perkenalan kampus. "Kasihan teman-teman muslim, karena mereka salat harus dalam keadaan bersih," ujarnya. Protes yang Dhyta galang berhasil mengubah aturan tersebut.
Di bangku kuliah, Dhyta menyalurkan hasrat perlawanannya lewat komunitas diskusi Tegak Lima. Dia juga ikut dalam demonstrasi besar-besaran 1998.
Sebagai aktivis, Dhyta merasakan betul perbedaan represi masa Soeharto dengan sekarang. "Zaman Orba, pemerintah langsung mengatakan ini dilarang dan polisi bertindak jika itu dilanggar," ujarnya. "Saat ini polisi terkesan menekan pengelola gedung tempat acara dilaksanakan, sehingga pengelola yang membubarkan acara."
Tekanan tidak langsung itu yang dia rasakan saat menggelar Festival Belok Kiri dan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta. Dhyta kecewa karena pengelola Taman Ismail Marzuki melarang pelaksanaan Festival Belok Kiri pada menit-menit akhir. Padahal, tutur dia, teman-temannya sudah memampangkan pernak-pernik di lokasi sejak empat hari sebelumnya. Menurut dia, panitia festival sudah menduga bakal ada tekanan akibat mengusung tema "kiri". "Tapi kami sepakat kata “kiri” perlu mendapat tempat guna menghapus kesan mengerikan tentang kiri," katanya.
Kerja kerasnya terbayar saat kantor LBH Jakarta dipadati pengunjung saban akhir pekan. "Saya terkejut karena Belok Kiri menjadi pembuka mata bahwa anak muda tak melulu tidak peduli," ucap Dhyta. Beberapa permintaan komunitas lokal dan kampus pun berdatangan meminta festival tersebut juga digelar di Medan, Semarang, Surabaya, Jombang, Malang, Bali, dan Makassar.
Dhyta memasukkan festival di kota-kota itu dalam agendanya. Dia juga akan menjadikan film Pulau Buru Tanah Air Beta sebagai acara. Dia berharap tumbuh inisiatif dari aktivis lokal untuk menggelar diskusi semacam itu. Menurut Dhyta, represi mungkin bakal menghadang. "Tapi gagasan tidak dapat dibungkam," ujarnya.
KORAN TEMPO
Berita lainnya:
Apel dan Selada, Paling Joss Hilangkan Bau Mulut
Habiba Da Silva Membuat Hijab untuk Semua Warna Kulit
Beehive, Tempat Nongkrong yang Bersahabat dengan Alam