Hindari Resiko Gangguan Jiwa Pasca Melahirkan
Editor
R. Dina Andriani
Selasa, 21 Juni 2016 14:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anak merupakan anugerah terbesar bagi seorang perempuan. Namun, ada ibu yang menganggap memiliki anak sebagai beban. Bahkan, tak sedikit kaum Hawa yang terganggu kejiwaannya setelah punya buah hati.
Sebuah penelitian dari Centre for Disease Control and Prevention dalam laporan Pregnancy Risk Assesment Monitoring System melaporkan perempuan yang baru saja melahirkan sangat beresiko terserang gangguan kejiwaan.
Gangguan tersebut biasanya berbentuk perubahan sikap menjadi lebih temperamental dan mudah cemas. Bahkan, satu dari 10 perempuan terindikasi mengalami gangguan jiwa pasca melahirkan atau post-partum depression.
Salah satu dari tim dokter Konsula Amarta Nusantara, Sri Habibah Sari Melati, menjelaskan bentuk gangguan kejiwaan pasca persalinan yang paling lazim dijumpai adalah sindrom baby blues, post-partum depression, dan psikosis.
“Ada satu teori mengenai timbulnya depresi pascamelahirkan, yaitu dugaan bahwa post-partum depression dipicu oleh penurunan hormon estrogen yang secara fisiologis memang menurun kadarnya pasca persalinan,” jelasnya.
Menurut Sri, sindrom baby blues biasa muncul pada dua pekan pertama atau dalam lima hari pertama setelah melahirkan. Ibu yang terjangkit sindrom ini biasanya menolak berinteraksi dengan bayinya karena menganggap buah hati yang dilahirkannya adalah beban baginya.
Lebih lanjut, dia menjabarkan rentang waktu terjadinya sindrom tersebut cenderung singkat. Namun, jika gejalanya berkepanjangan, sindrom tersebut bisa berkembang menjadi depresi yang mengakibatkan sang ibu kehilangan minat serta gairah hidup.
Bahkan, pada beberapa kasus dijumpai ibu yang sampai ingin bunuh diri akibat depresi berkepanjangan setelah bersalin. Jika gejala depresi cenderung menetap, besar kemungkinan penderita akan mengalami gangguan jiwa berat alias psikosis.
Pada tahapan psikosis, biasanya penderita akan mengalami halusinasi, delusi, dan gangguan realitas lainnya. Jika sudah demikian, akan sangat sulit untuk memulihkan kondisi si ibu kembali normal. Lantas, bagaimana cara mengatasi depresi pascamelahirkan?
Sri mengungkapkan kuncinya adalah respons yang cepat dari keluarga si penderita. Keluarga diharapkan lebih peka dalam mendeteksi kemungkinan gejala depresi sejak si ibu masih mengandung. Tidak hanya peka, keluarga harus bertindak sedini mungkin.
“Sebaiknya ada kewaspadaan dari suami dan keluarga untuk mendeteksi adanya gejala-gejala tersebut. Misalkan, ketika ada kejanggalan atau tingkah laku yang tidak biasa dari istri, maka suami harus segera tanggap dan membantu istri dengan berkonsultasi ke dokter,” katanya.
Tidak hanya berkonsultasi ke dokter, suami dan keluarga harus memberikan dukungan maksimal kepada penderita dengan menempatkannya di lingkungan yang nyaman serta membantu pekerjaan yang dirasakan sebagai beban, seperti mengurus bayi dan rumah tangga.
Jangan melimpahkan segala tugas dan beban semata-mata kepada ibu yang baru melahirkan. Ada baiknya keluarga lebih kompak dan mau berbagi tugas untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh si ibu.
Lebih lanjut, Sri menegaskan bahwa depresi pasca melahirkan mengandung bahaya yang sangat serius bagi kejiwaan seorang perempuan. Untuk itu, penanganan dari dokter atau psikolog harus dilakukan dengan cepat pada saat yang tepat.
Salah satu langkah mudah adalah dengan mengunduh aplikasi atau fitur konsultasi online dengan dokter dan psikolog profesional. Fitur ini sudah banyak dikembangkan, dan memungkinkan pasien untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli kapanpun dan dimanapun.
Apapun yang terjadi, jangan sampai beban psikologis menjadi bayangan bagi seorang perempuan untuk mensyukuri indahnya berkah memiliki buah hati. Dukungan keluarga sangat diperlukan agar anugerah memiliki momongan tidak berubah menjadi sumber petaka.
BISNIS
Berita lainnya:
Tip Atasi Takut Serangga pada Anak
Ayo Makan Ikan 2 Kali Seminggu Agar Mata Lebih Sehat
Workaholic Bisa Bikin Sukses?