Tenun Ikat Kediri, Kisah Keluarga Latief Suwigya dan Siti Rukayah
Reporter
Hari Tri Wasono (Kontributor)
Editor
Rini Kustiani
Jumat, 28 Desember 2018 17:04 WIB
TEMPO.CO, Kediri - Industri tenun di Kediri tumbuh sebelum era kemerdekaan Republik Indonesia. Sempat hancur akibat mahalnya harga benang dan peristiwa politik G30-S/PKI, perlahan-lahan tenun Kediri kembali bangkit dengan wajah modern.
Baca: Sedang Tren, Tenun dengan Warna Alam
Kota Kediri yang dibelah oleh aliran Sungai Brantas seolah menjadi penanda, mana bagian penenun dan mana yang bukan. Penduduk Kota Kediri yang berprofesi sebagai penenun lebih banyak ditemukan di bagian barat sungai, khususnya di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto.
Hampir semua warga Kelurahan Bandar Kidul punya alat tenun. Namun ada satu keluarga yang menjadi pencetusnya, yakni keluarga Latief Suwignya. Keluarga ini pula yang pertama kali mengerek kerajinan tenun ikat menjadi industri.
Orang tua Latief Suwigya adalah keturunan Tionghoa yang memiliki cukup banyak alat tenun dan pekerja. "Saya masih kelas tiga sekolah rakyat saat bapak saya membangun industri tenun tahun 1939," kata lelaki 87 tahun itu kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Latief Suwigya menceritakan kejayaan industri tenun Kediri kala itu. Saking pesatnya usaha orang tuanya, Latief bahkan sempat dikirim ke Belanda untuk belajar soal tenun di sekolah khusus tekstil.
Kepulangan Latief ke tanah air membawa perubahan dahsyat soal kualitas dan ragam pewarnaan tenun Kediri. Tak hanya tentang teknik pewarnaan, Latief juga mempelajari pembuatan benang menjadi kain di Belanda yang lebih maju dalam industri tekstil.
Namun satu-satunya ilmu yang tak dipelajari adalah stabilitas harga bahan baku. Tingginya ketergantungan bahan baku tenun pada benang impor membuat industri ini cukup rentan. "Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba usaha orang tua saya ambruk karena naiknya harga benang," kata Latief.
Artikel lainnya: Tampil Modis dengan Tenun ala Annisa Pohan
Tak berhenti di sana, gonjang-ganjing politik yang berujung pecahnya gerakan 30 September berdampak besar pada industri ini. Usaha yang telah diproduksi secara massal tiba-tiba tenggelam. "Peristiwa PKI membuat tenun mati suri selama dua puluh tahun," kata Siti Rukayah, 48 tahun, perajin tenun di Kelurahan Bandar Kidul.
Bersama suaminya, Siti Rukayah memberanikan diri merintis kembali usaha tenun di Kelurahan Bandar Kidul. Suaminya Munawar adalah bekas pekerja di sebuah industri tenun yang telah bangkrut. Kala itu tak banyak pemilik mesin yang mengikuti langkah Siti Rukayah. Sebagian dari mereka beralih ke pekerjaan lain karena belum melihat prospek penjualan tenun yang lebih baik.
Bermodal dua mesin tenun, pasangan suami istri ini memproduksi sendiri kain sarung yang menjadi produk utama perajin tenun di tahun 1989. Sedikitnya jumlah penenun yang memulai kembali usaha mereka melapangkan jalan Siti Rukayah di bisnis ini. Dari lima desa yang menjadi kawasan perajin tenun di wilayah barat Kota Kediri, hanya Kelurahan Bandar Kidul yang membangun kembali bisnis ini.
Satu per satu bekas pekerja tenun di kelurahan ini direkrut. Mereka juga mampu menggandakan jumlah mesin tenun dari 2 unit menjadi 15 unit. Mesin tenun manual yang dibuat dari kayu ini digerakkan oleh tenaga manusia dan dikenal sebagai alat tenun bukan mesin (ATBM).
Selanjutnya: Bisnis tenun Siti Rukayah jatuh jua.
<!--more-->
Peringatan Latief Suwignya ihwal ketergantungan bahan baku tenun pada produk impor terbukti. Kejatuhan usaha orang tuanya kembali terulang di era Siti Rukayah saat terjadi krisis ekonomi pada 1997.
Harga bahan baku benang dan pewarna tak terkejar dengan nilai penjualan sarung yang hanya dibanderol Rp 25 ribu per potong. Krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga meletusnya gerakan reformasi dengan lengsernya kekuasaan Presiden Soeharto memperburuk industri ini. "Saya menyerah dan menutup usaha ini," kata Siti Rukayah.
Tidak adanya peluang kerja di luar tenun memaksa Siti Rukayah menjadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Status juragan tenun dia tanggalkan untuk menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang. Hingga pada akhirnya Rukayah kembali pulang ke Bandar Kidul dengan memegang uang Rp 14 juta sebagai upah dua tahun menjadi pembantu.
Atas persetujuan suaminya, uang itu dibelanjakan untuk membeli benang dan zat pewarna. Siti Rukayah bertekad membangun kembali tenun yang pernah dirintisnya. Bermodal 15 unit mesin tenun yang masih terawat baik, Rukayah menarik kembali bekas pekerjanya yang menganggur.
"Setiap hari Kamis saya keliling hingga ke desa-desa menjual sarung sendiri. Sebab hari Sabtu harus membayar gaji pekerja," kata Rukayah yang memulai kembali usahanya di tahun 2001. Dengan membawa beberapa lembar kain sarung dan kartu nama yang dibuat ala kadarnya, perempuan ini mendatangi rumah-rumah petani yang baru saja panen. Mereka adalah konsumen potensial karena baru saja memegang uang.
Langkah inilah yang tak dilakukan pemilik industri tenun lain di Bandar Kidul. Mereka lebih menyukai menunggu kunjungan pembeli daripada bergerak keluar seperti Rukayah. Sehingga tak heran jika produk sarung milik Rukayah lebih dikenal luas dengan merek dagang Medali Mas.
Siasat dagang juga dilakukan Rukayah dengan meminta jasa tukang jahit. Mereka diminta memotong kain tenun yang dia produksi menjadi pakaian, tas, dan sepatu. Hingga pada akhirnya usaha milik Rukayah benar-benar meninggalkan perajin tenun lain di kampungnya yang masih berkutat pada sarung.
Diversifikasi hasil kain tenun menjadi penyelamat bagi Siti Rukayah agar tetap bertahan. Sebagai perajin pionir sekaligus terbesar, rumah produksi milik Siti Rukayah mampu memproduksi 60 sampai 70 potong per hari. Dia juga memiliki 98 pekerja dengan 47 alat tenun yang menghasikan pendapatan hingga Rp 300 juta per bulan