Siksaan Tubuh saat Penerbangan Jarak Jauh, Sakit Perut dan Sinus
Reporter
Bisnis.com
Editor
Yayuk Widiyarti
Senin, 18 Juni 2018 08:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Merasa berada di ruang sempit dan terjepit di antara kursi-kursi, antrean tak berujung dan merasa hambar saat menyantap sajian makanan adalah beberapa hal yang dialami orang saat terbang. Itu hal yang lazim terjadi pada tubuh. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh manusia selama penerbangan?
Menurut data Compare Travel Insurance, efek samping dari duduk berlama-lama di pesawat, terutama pada penerbangan jarak jauh (long haul) dapat membuat hal-hal tak mengenakkan bagi penumpang, seperti sinus dan sakit perut. Lebih dari sepertiga selera makan hilang saat terbang pada ketinggian yang tinggi karena berkurangnya cairan dan perubahan tekanan udara yang mempengaruhi telinga, sinus, dan indra perasa.
Artikel lain:
6 Trik Perawatan Kecantikan di Pesawat
Bepergian Naik Pesawat Terbang? Siapa Takut
Supaya Tidur Nyenyak di dalam Pesawat
ASIP Boleh Masuk Pesawat, Ini Peraturannya
Lebih mengejutkan, laporan itu menyatakan perut akan mengembang karena perubahan tekanan udara yang menyebabkan kembung, ingin kentut, sakit perut, hingga sembelit.
Jika Anda dalam penerbangan selama tiga jam, sebanyak 1,5 liter air akan terhidrasi dari tubuh karena tingkat kelembaban yang rendah. Hidung, mulut, dan tenggorokan pun tak ayal akan berasa kering. Temperatur udara di luar yang dinginnya bisa 100 kali, ditambah pendingin ruangan di dalam kabin, mempermudah penyebaran kuman dan virus di lorong kabin.
Untuk mengurangi efek perasaan buruk saat menjalani penerbangan jarak jauh, penumpang bisa mengatasinya dengan menghindari alkohol dan minum banyak air, menjaga tangan tetap lembab dan berjalan di sekitar kabin untuk mengurangi pembengkakan kaki.
Baru-baru ini, sebuah laporan menunjukkan ada empat kali potensi kemarahan di penerbangan ketika penumpang ekonomi masuk ke lorong kelas utama.
“Pesawat modern adalah mikrokosmos masyarakat sosial berbasis kelas dan bahwa meningkatnya insiden kemarahan udara ini bisa dipahami melalui lensa ketidaksetaraan,” jelas penulis study itu, Katherine DeCelles dari Universitas Toronto di Kanada dan Michael Norton dari Sekolah Bisnis Harvard Harvard di Amerika Serikat, seperti dikutip news.com.au.