TEMPO.CO, Jakarta - Menjadi presenter berita di CNN Indonesia dan aktif mengajar broadcast dan public speaking tidak lantas membuat Olivia Marzuki berpuas diri. Lulusan International Studies dari International Pacific College, Selandia Baru, itu sudah dua tahun menggeluti bisnis franchise spa bernama Amara Home Spa di Jakarta Selatan. Lisensi franchise tersebut dibeli Olivia pada November 2015.
Tak seperti bisnis spa kebanyakan yang memiliki outlet sendiri, model bisnis spa Olivia menghadirkan nuansa berbeda karena berbasis mobile. Para terapis yang datang ke rumah pelanggan. “Saat ini aku punya tujuh terapis,” ujarnya.
Tujuh terapis tersebut adalah orang-orang yang dia datangkan dari desa. Meski demikian, Olivia menceritakan, dia tidak serampangan mengambil orang untuk dibawa ke Jakarta.
Olivia memilih orang-orang yang memang sudah sangat familiar dengan aktivitas pijat-memijat lantaran punya latar belakang sebagai tukang pijat di daerah asalnya. “Sebelum dilepas ke pelanggan, mereka diajarkan dulu oleh terapis senior,” katanya.
Kenapa Olivia tidak merekrut orang yang benar-benar baru di dunia pijat-memijat? Bagi Olivia, pengalaman menjadi guru terbaik. Dia menceritakan bagaimana sulitnya menggugah orang yang belum punya “bibit” di bidang jasa perawatan tubuh seperti memijat.
“Kebanyakan yang masih nol cepat berhenti karena belum tentu mereka menyukai pekerjaan itu,” tuturnya. Akibatnya, investasi dalam bentuk pelatihan dan waktu pun terbuang.
Saat ini bisnis Olivia terbilang maju dengan omzet per bulan mencapai puluhan juta rupiah. Setiap hari, seorang terapis bisa melayani 2-3 pelanggan. Walaupun terbilang sedikit karena hanya memiliki tujuh terapis, bisnis Amara Home Spa terbukti berkelanjutan.
Olivia mengatakan pelanggannya berasal dari berbagai kalangan. "Dari kawan sejawat hingga orang-orang baru yang bahkan tak dia kenal," ucapnya. "Kami berkembang karena word of mouth."
Meskipun saat ini terbilang sukses dalam berbisnis home spa, ternyata Olivia pernah mengalami kegagalan. Dara 34 tahun ini pernah merasakan bangkrut di bisnis sanggar tari dan senam.
Awalnya, dia menggandeng seorang teman warga negara asing untuk membuat sebuah studio dance di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Utara. Tidak bertahan lama, sanggar tersebut harus ditutup karena terus-menerus rugi. “Keuangannya minus, modal tidak balik,” ujarnya.
Di sana, ia bercerita, memperoleh banyak pembelajaran yang bisa didapat. Salah satunya untuk mempertimbangkan masak-masak lokasi usaha dan segmen yang disasar. “Di bisnis sebelumnya, aku salah lokasi dan menargetkan orang,” katanya.
Berita lainnya:
Puding Alpukat Cokelat yang Manis di Lidah
Anak Malas Kursus, Salah Anak atau Orang Tua?
Memilih Sabun Mandi yang Tepat Versi Dokter Kulit