TEMPO.CO, Jakarta - Mungkin Anda masih membandel dengan tetap merokok atau abai dengan membiarkan orang di sekitar Anda merokok. Namun sadarkah Anda bahwa kondisi itu berarti menempatkan diri sendiri menghadapi kanker paru yang merupakan penyakit pembunuh nomor satu. Berdasarkan data Global Burden Cancer 2012, rasio penderita kanker paru mencapai 26 per 100 ribu orang dengan tingkat kematian 22 per 100 ribu orang.
“Mereka yang terkena kanker paru jarang berumur panjang,” kata dokter Niken Wastu Palupi, Kepala Sub-Direktorat Pengendalian Penyakit Kanker Kementerian Kesehatan. Data dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Paru Persahabatan menyebutkan jumlah kasus baru kanker paru meningkat lebih dari lima kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Dokter spesialis paru dan pernapasan dari RSUP Persahabatan, Elisna Syahruddin, menambahkan, pada 2015, jumlah penderita kasus baru kanker paru yang berobat di RSUP Persahabatan sebanyak 648 orang. Artinya, dalam sehari, rumah sakit tersebut menangani 3-4 pasien baru. Parahnya lagi, sebagian besar penderita baru datang setelah berada dalam stadium lanjut, yaitu stadium IIIB atau IV. “Kalau sudah begitu biasanya tinggal menghitung hari,” ujarnya.
Gejala kanker paru, Elisna menjelaskan, tidak khas. Biasanya hanya berupa batuk dan sesak napas. Gejala-gejala umum tersebut biasanya diabaikan para perokok atau mereka yang rutin terpapar asap rokok. “Kalau sudah dua pekan terasa sesak atau batuk-batuk yang tidak berhenti, langsung periksa. Itu alarmnya sudah bunyi,” tuturnya.
Selain asap rokok, faktor risiko lainnya adalah adanya gas radioaktif radon di tempat tinggal, polusi di dalam dan luar ruangan, serta zat karsinogenik di lingkungan kerja. “Kelompok risiko kanker paru berada pada usia di atas 40 tahun,” katanya. Meski begitu, dalam sebuah kasus terdapat penderita yang masih berusia 13 tahun.
Elisna menyarankan agar seseorang yang berada dalam kelompok berisiko melakukan deteksi dini. Sebab, apabila kanker ditemukan pada stadium dini, harapan hidup bagi penderitanya lebih panjang. Tindakan yang dilakukan kepada penderita kanker stadium satu biasanya pembedahan. Sedangkan bagi penderita stadium dua adalah kemoterapi.
Ia membenarkan bahwa pengobatan kanker paru menelan biaya besar. Kepada pasien stadium lanjut, tak jarang Elisna menanyakan apakah mempunyai rumah untuk dijual. Pertanyaan ini penting lantaran dalam pemeriksaan awal saja, pasien sudah perlu melakukan tes CT-scan yang biayanya tidak murah. CT-scan dibutuhkan mengingat tumor yang berukuran kecil terkadang tidak tampak dalam hasil foto toraks.
Begitu pula dengan gejala kanker paru yang tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari. “Paru-paru begitu dibuka luasnya sebesar lapangan sepak bola sehingga kalau ada kanker seukuran 10 sentimeter tidak terasa,” katanya. Salah satu jenis kanker paru yang mudah diketahui adalah kanker yang terletak di dekat saluran pernapasan. Kanker ini mudah ketahuan karena gejalanya berupa batuk-batuk.
Elisna mengatakan kanker paru yang ukuran tumornya 1 sentimeter biasanya sudah berkembang dalam tubuh penderita selama 10 tahun. Jadi, apabila pasien datang berobat pada usia 40 tahun, diperkirakan dia mengidap kanker sejak berusia 30 tahun.
Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan perilaku merokok penduduk berusia 15 tahun ke atas sejak 2007 meningkat dari 34,2 persen menjadi 36,3 persen. Selain itu, prevalensi perokok perempuan remaja naik dari 0,9 persen (2010) menjadi 3,1 persen (2013). Adapun secara keseluruhan, sebanyak 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan mengisap rokok.
Peningkatan jumlah penderita ini otomatis membuat biaya pengobatan yang dikucurkan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan meningkat. Biaya pengobatan bagi pasien kanker paru tahun lalu menembus Rp 2,6 triliun. Jumlah tersebut terus meningkat dibanding 2015 senilai Rp 22,2 triliun dan 2014 sebesar Rp 1,5 triliun. “Biaya pengobatan kanker paru berada di urutan ketiga dalam BPJS,” ujar Elisna.
Ia mengatakan, puskesmas telah menyediakan layanan upaya berhenti merokok bagi kelompok masyarakat yang berusia di atas 15 tahun. “Lakukan pencegahan dengan perilaku cerdik, yaitu cek kesehatan rutin dan enyahkan asap rokok,” katanya. Elisna pun mengatakan setiap orang harus mengingatkan orang lain untuk berhenti merokok. “Jangan didiamkan.”
MARTHA WARTA SILABAN
Berita lainnya:
Kapan Waktu yang Tepat Ganti Bra?
Supaya Perhiasan Emas Kembali Kinclong
Bingung Mencari Nama buat Anak? Berikut Ini Kiatnya