TEMPO.CO, Jakarta - Anda tidak sengaja menyaksikan tindakan kekerasan atau pelecehan seksual. Bermaksud memberikan efek jera bagi para pelaku tindakan tak senonoh seperti itu, Anda mengabadikannya dalam bentuk foto atau video, lalu menyebarkannya ke media sosial. Namun, bukan dukungan yang Anda dapat. Sebaliknya, Anda dirundung dan dipaksa meminta maaf karena dianggap menyebar fitnah.
“Memang sering terjadi kasus seperti ini, yaitu ketika whistle blower (pengungkap kasus) malah dihukum,” ujar psikolog klinis dewasa, Anna Margaretha Dauhan. Jika kebetulan kita berada dalam posisi saksi, bahkan sampai memotret kejadian semacam ini, sikap hati-hati sangat diperlukan. “Kalau langsung disebarkan lewat media sosial tanpa klarifikasi, jadinya rentan dianggap fitnah. Saksi malah bisa dituduh yang tidak-tidak. Baik oleh pihak yang ada dalam foto, keluarganya, maupun masyarakat umum,” sambungnya.
Lebih lanjut Anna menjelaskan, di Indonesia sendiri mekanismenya belum jelas. Masyarakat yang menjadi saksi kasus pelecehan, kekerasan, atau sejenisnya sering kali tidak tahu harus berbuat apa. Sedikit melakukan perbandingan, Anna menjelaskan jika di negara-negara lain yang sudah lebih tertata sistem hukumnya, biasanya saksi akan diminta melaporkan temuannya kepada pihak berwenang. Bisa kepada polisi, lembaga perlindungan anak, dan lain-lain. Dari sini, pihak berwenanglah yang akan mengusut dan foto dari saksi akan dijadikan barang bukti.
“Jadi kalau kebetulan mengalami hal yang sama, sebaiknya kita menahan diri agar tidak langsung menyebar foto tersebut. Laporkan saja kepada pihak berwajib. Ini langkah paling benar dan aman,” bilang Anna. Barang bukti terlihat gamblang sekalipun, bukan menjadi hak kita mengedarkannya tanpa klarifikasi. “Karena kadang kita tidak benar-benar tahu konteksnya seperti apa. Kalaupun yakin itu bukti pelanggaran hukum, sifatnya sebaiknya hanya untuk kalangan terbatas. Tidak hanya untuk menjaga kerahasiaan, melainkan juga untuk melindungi korban,” sambungnya.
Batasan seperti inilah yang sering lupa dipertimbangkan matang-matang oleh kebanyakan dari kita. Terlebih dalam era dunia digital dan media sosial yang serbacepat. Ketika kita ingin menjadi sumber informasi nomor satu. “Klarifikasi dianggap tidak perlu. Perasaan korban jika fotonya disebarluaskan pun sering tidak diperhatikan. Kebanyakan dari kita hanya merasa berhak melakukan hal itu karena tujuannya baik; ingin melindungi anak-anak, ingin memberitakan kepada masyarakat, agar semua lebih waspada dan hati-hati,” urai Anna.
Padahal sekali lagi, jika barang bukti disebar ke media sosial tanpa melalui perangkat hukum yang berlaku, jelas sangat rentan dituduh mencemarkan nama baik atau fitnah. “Selain itu, kita juga harus berhati-hati dalam menyebarkan sesuatu lewat media sosial, karena kadang kala foto-foto itu malah memberi ide pada orang lain untuk melakukan hal serupa,” kata Anna. Mengerikan, bukan?
Berita lainnya:
Mengenal Tenun Endek dari Bali
Apa Rahasia Perawatan Kulitmu? John Mayer: Pertanyaan Aneh
Habis Upacara 17 Agustus, Nikmati Segarnya Es Loli Mangga