TEMPO.CO, Jakarta - Tati Leliana Purba tak pernah bosan mendidik anak difabel di Sekolah Luar Biasa Negeri 6 Jakarta membuat kerajinan tangan yang bernilai jual untuk menciptakan bisnis berkelanjutan. Tujuannya supaya anak-anak didiknya mandiri, bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa bergantung pada orang lain.
Dua hari dalam seminggu dari pagi hingga siang hari, Leli mengajarkan cara membuat kerajinan sekaligus perhitungan jual beli dasar kepada para anak didiknya dengan cara sederhana. Ia menjadi guru SLB sudah lebih dari 30 tahun dan baru tiga tahun ini akhirnya diangkat jadi PNS.
Tantangan dalam menghadapi siswa SLB yang membutuhkan perlakuan khusus tidak membuatnya berhenti untuk memberikan keterampilan tambahan. "Mengajari mereka mesti pakai hati, jangan bawa perasaan dan harus ekstra sabar. Progres sedikit apapun menjadi pencapaian yang berharga bagi mereka," ucap Leli saat ditemui di Jakarta, Senin, 25 November 2019.
Leli mempelajari perilaku dan bahasa mereka dengan cara yang tentu saja mudah dipahami. Ia terus mencari cara untuk melatih kepercayaan diri anak didiknya dengan mengikutsertakan mereka dan pameran kerajinan di tempat publik.
"Semua teknik yang diajarkan pelan-pelan sesuai tahapan, jangan bilang salah pada mereka, tapi langsung beri aksi bagian mana yang mesti diubah," lanjutnya. Mereka terus menerus diberi pengertian bahwa keterampilan ini kelak akan ada manfaatnya.
"Kita nggak bisa cuma sekali dua kali buat mengajari mereka, kita nggak boleh bosan dan terus mencari cara. Mereka juga dilatih supaya percaya diri untuk buka pelatihan di ruang publik," kata dia.
Hasil kerajinan yang dibuat bersama para murid yang diberi nama Tama, akronim dari "tangan dan mata". Secara filosofis, Tama memiliki makna bahwa keterbatasan siswa SLB dalam mendengar dan berbagai tidak menghalangi tangan dan karya-karya kreatif dan bernilai jual tinggi.
Ragam produk yang dihasilkan bervariasi, bahkan Leli baru-baru ini mulai mengerjakan produk-produk yang menggunakan pewarna alam seperti shibori. Hasil karya tangan mereka pun kerap dipajang, diapresiasi hingga orang tertarik membeli. Hal ini mendatangkan semangat dan kebanggaan bagi dirinya, juga bagi anak didiknya.
Keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan digunakan kembali untuk membeli bahan-bahan hingga usaha kerajinan ini berkelanjutan. Dengan begitu usaha terus berputar sembari terus mencari karya untuk eksplorasi kerajinan apa yang sedang tren.
Aksi hidup baik dan kepiawaiannya dalam mendidik sekaligus membuat karya kerajinan mengantarkan sekolah tempatnya mengajar sebagai 10 besar SLB terbaik di Indonesia. Sementara Leli menjadi salah satu nominator Ibu Ibu Kota Awards Bidang Pengembangan Kerajinan yang malam penganugerahannya dihelat 20 Desember mendatang.
Tak muluk-muluk, Leli hanya ingin anak difabel didikannya menjadi mandiri dan produktif selepas lulus nanti. "Orang harus membeli produk buatan anak didik saya karena karya tersebut memang berkualitas, bukan karena kasihan,” ia menegaskan.