TEMPO.CO, Jakarta - Kesadaran para pecinta fashion untuk mengenakan busana terbaik semakin meningkat, termasuk soal material kain yang ramah lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari semangat go green atau peduli lingkungan hidup yang telah menjadi bagian dari gaya hidup banyak orang saat ini.
Produk fashion, terutama pakaian, bisa menjadi tidak ramah lingkungan ketika produk tersebut sudah tidak terpakai dan menjadi sampah yang tidak mudah terurai oleh alam. Tidak hanya materialnya yang terus menumpuk seperti halnya sampah tidak mudah terurai lain namun juga kandungan pewarna dan kimia lain yang terdapat di dalamnya turut mencemari lingkungan.
Baca juga:
5 Seleb yang Tidak Pernah Menggunakan Jasa Fashion Stylist
5 Urusan yang Dihindari Penggila Fashion
Robert Van de Kerkhof, Chief Commercial Officer Lenzing, perusahaan serat dari Austria, mengungkapkan, "Sampah fashion pada 2030 diperkirakan mencapai 140 juta ton."
Bukan sesuatu yang mustahil terjadi, terlebih jika saat ini kita masih setia dengan pakaian berbahan dasar tidak ramah lingkungan. Hal tersebut belum ditambah fakta bahwa tekstil merupakan industri kedua tertinggi tingkat pencemarannya setelah petrokimia.
Peragawati memperagakan pakaian dengan konsep eco fashion di atas sawah yang tercemar limbah industri tekstil . TEMPO/Prima Mulia
Industri tekstil secara keseluruhan juga menyumbang pencemaran udara sebanyak 1,2 miliar ton karbondioksida setiap tahunnya. Memilih produk fashion ramah lingkungan berarti yang tidak hanya ramah setelah menjadi sampah, namun juga ramah lingkungan dalam proses pembuatannya.
Mengenakan produk fashion berbahan serat organik, salah satunya yang terbuat dari katun atau kapas, tentu pilihan terbaik. Akan tetapi, ketersediaan kapas pastinya terbatas dan bisa jadi suatu saat habis jika tidak dibarengi dengan tanam ulang yang tepat guna.
Baca juga:
Prinsip Sebelum Terjun ke Bisnis Fashion
Cara Menemukan Selera Fashion Anda
Menjawab tantangan tersebut, sejak 35 tahun lalu Lenzing, perusahaan internasional dari Austria, membuka pabrik produksi seratnya di Purwakarta, Indonesia dengan nama PT. South Pacific Viscose.
Sama-sama terbuat dari bahan organik, namun serat dari Lenzing yang diberi nama Tencel dibuat dari bahan baku alami kayu terbarukan yang diproses sedemikian rupa hingga menjadi serat berkualitas tinggi. Serat-serat inilah yang kemudian dijadikan bahan dasar untuk berbagai aplikasi tekstil dan nonwoven.