TEMPO.CO, Jakarta - Asian Games 2018 baru saja berakhir. Namun kita bisa menularkan semangat pesta olahraga antarnegara Asia sekaligus ajang menumbuhkan sportivitas pada diri anak. Sebagaimana kemampuan olahraga harus dilatih dan dipelajari, sikap sportif tidak muncul dan tumbuh begitu saja.
Baca juga:
Nia Ramadhani Jadi Ibu Guru Galak Saat Ajarkan Anak Mewarnai
Keakraban Anak Rini S Bono, Cara Mendekatkan Anak Beda Ayah
Pola Asuh Narsis, Jangan Lupa Ajarkan Anak Empati
Banyak orang tua pandai melatih kemampuan olahraga pada anak, tetapi tidak banyak yang mampu menularkan sikap sportif. Tidak ada orang yang suka mengalami kekalahan, apalagi balita. Mereka belum mampu menghadapi kemenangan dan kekalahan.
Anak akan menyombongkan diri ketika menang, berusaha curang atau mengubah peraturan jika merasa hampir kalah, dan menangis, merajuk, menuduh orang lain curang saat dipastikan kalah. Ini perilaku khas balita. “Untuk anak usia 3-4 tahun, dunia ini masih sangat hitam putih,” jelas Wendy Middlemiss, Ph.D., profesor psikolog pendidikan di Universitas Texas Utara, Denton, AS.
“Anak usia prasekolah cenderung berpikir mereka bermain hanya untuk menang, mereka harus menang, sehingga sulit bagi mereka berhadapan dengan kekalahan,” lanjut Middlemiss. Dengan perspektif menang atau kalah, anak balita mengekspresikan kemenangan atau kekalahan dengan cara mereka, emosional.
Baca juga: Kiat Sandra Dewi Bagi Waktu Mengurus Anak dan Pekerjaan
“Anak usia ini (balita) biasa mengungkapkan emosi mereka secara fisik, bukan verbal. Mereka akan menangis, menendang, memukul, dan berteriak,” ungkap Lawrence Kutner, Ph.D., psikolog dan direktur eksekutif yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, Yayasan Jack Kent Cooke, Virginia, AS. Sedangkan balita belum tahu cara mengekspresikan perasaan paling kuat melalui kata-kata dan butuh bantuan Anda untuk mengartikulasikan emosi mereka secara verbal.