TEMPO.CO, Jakarta - Batik Indonesia telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Mesk begitu, masih sedikit generasi muda yang mau meneruskan pekerjaan membatik. Usia rata-rata pembatik kini di atas 50 tahun. Bahkan, di sejumlah desa, di atas 65 tahun.
Jumlah pembatik juga tak kalah menyedihkan. Peneliti batik, William Kwan, mengatakan pembatik motif Djarot Asem, yang sekilas mirip batik Yogyakarta dan Solo (batik Sogan), tinggal dua orang. Sedangkan pembatik Sogan hanya 10-15 orang. "Dan usianya paling muda 65 tahun," katanya.
Baca juga:
Baca juga:
Hari Batik Nasional, Dicari Generasi Pembatik
Hari Batik Nasional, Motif Batik Jadi Sandi Perang Diponegoro
Hari Batik Nasional,Ada Motif Batik Happy Djarot dan Veronica Tan
William mengungkapkan, pekerjaan membatik belum berhasil menarik minat generasi muda. Penyebabnya, antara lain, rendahnya harga jual batik tulis. Padahal proses pembuatan selembar batik tulis bisa memakan waktu berbulan-bulan. Itu masih ditambah dengan waktu tunggu sekitar enam bulan hingga kain terjual. "Harga di bawah Rp 500 ribu tidak pantas untuk selembar batik tulis," tuturnya. Dia beralasan, upah minimum regional tenaga kerja di Batang saat ini saja sudah senilai Rp 1,6 juta per bulan. Upah itu berlaku pula di perusahaan garmen atau sektor modern lainnya.
Persoalan itulah yang menjadi tantangan bagi William dan anggota komunitas Batik Redaya, yang bergerak di bidang pelestarian dan pengembangan batik. Komunitas ini beranggotakan profesional batik. "Kami melakukan revitalisasi di Batang dalam dua tahun terakhir ini," dia mengungkapkan.
Menurut William, anggota komunitas Batik Redaya melakukan pendampingan di Desa Kalipucang Wetan, di pinggiran Kota Batang, yang dikenal sebagai daerah tempat tinggal komunitas Islam Rifa’iyah. Di desa ini didirikan Kelompok Usaha Bersama Tunas Cahaya, yang bekerja membantu generasi muda pembatik.
Ketua Kelompok Perajin Batik Rifa’iyah, Miftahutin, menuturkan tradisi membatik sudah ada di Kalipucang sejak ratusan tahun silam. Kendati tradisi tersebut masih bertahan, kata dia, hanya segelintir anak muda yang mau membatik. "Jumlahnya tidak lebih dari lima orang. Mereka lebih tertarik terjun ke dunia yang cepat mendatangkan uang," kata Miftah.
Total sekarang terdapat 140 warga Kalipucang yang masih teguh meneruskan budaya membatik. Sebanyak 86 orang di antaranya menjadikan batik sebagai pekerjaan. Sisanya menganggap membatik hanya sebagai pekerjaan sampingan.
William berujar, pada 2006 Batik Redaya telah merevitalisasi batik Lasem dengan mendirikan Kelompok Usaha Bersama Srikandi Jeruk, di Desa Jeruk, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang. Perempuan di desa itu secara turun-temurun bekerja sebagai pembatik untuk menambah penghasilan keluarga. Mereka bekerja di rumah masing-masing atau di rumah juragan batik di Lasem dan desa-desa sekitarnya. Saat ini sudah terdapat tiga orang anggota Srikandi Jeruk yang aktif dalam usaha batik.
Warga Desa Karas Kepoh, Kecamatan Pancur, Temok, 59 tahun, mengaku sudah lebih dari 40 tahun bekerja sebagai perajin batik. Perempuan itu mengatakan belum akan pensiun sebagai perajin. Sebab, dengan membatik, ia bisa menyekolahkan kedua anaknya. Temok juga berharap generasi muda mau meneruskan tradisi membatik. "Membatik itu pekerjaan seni. Harus dilakukan dengan perasaan, tidak boleh buru-buru," ucapnya.
Selain mengajak anak muda membatik, William meminta para pembatik yang telah berusia lanjut di Batang dan Lasem untuk melukiskan kembali motif-motif yang pernah dibuat sepanjang kariernya. Hasilnya, seorang pembatik mampu mengingat dan melukiskan 49 motif yang telah dikerjakannya selama ini. "Ini adalah upaya kami agar motif batik bisa lestari," kata dia, seraya menunjukkan kain dengan 49 motif.
William juga mengimbau pedagang batik agar menjual kain dengan harga yang layak. "Kalau murah ya murah, jangan dimahal-mahalin. Demikian pula sebaliknya. Harus ada keadilan untuk semua pelaku," dia mengungkapkan.
MUHAMMAD IRSYAM FAIZ | SUJATMIKO | MARTHA WARTA SILABAN