Ratu Tisha Destria, Sekjen (Sekretaris Jendral) Federasi Sepakbola Indonesia PSSI saat ditemui dikantor PSSI dikawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 20 Juli 2017. TEMPO/Nurdiansah
Tisha, 32 tahun, kesulitan merangkai kata untuk menggambarkan penyebab dia jatuh hati. Yang jelas, bukan paras pemainnya. ”Biasa saja melihat mereka,” ujar Ratu Tisha Destria, tersenyum.
Dari gelanggang, cintanya menjalar ke bangku sekolah. Di SMA 8 Jakarta, Tisha menjadi manajer tim sepak bola sekolahnya. Dia menganggap kerjanya itu sebagai perjuangan melawan arus. Di salah satu SMA terbaik di Ibu Kota itu, dia melanjutkan, olahraga ditempatkan jauh di bawah prioritas utama, yakni nilai akademik. ”Maka, waktu bisa menang di sebuah kompetisi, rasanya seperti cerita komik,” ucapnya. Saat kuliah, dia menangani Persatuan Sepak Bola Institut Teknologi Bandung.
Tisha seperti tidak bisa lepas dari bal-balan. Sempat bekerja beberapa tahun di perusahaan pengeboran minyak, dia kembali ke LabBola, penyaji statistik sepak bola yang dia rintis saat lulus kuliah pada 2008, dan mendapat beasiswa program FIFA Master pada 2013.
Ini merupakan program setara S-2 bidang manajemen, hukum, dan humaniora di tiga perguruan tinggi prestisius di Eropa, yakni SDA Bocconi di Milan, Italia (manajemen); Universite de Neuchatel di Neuchatel, Swiss (hukum); dan De Montfort University di Leicester, Inggris (humaniora). Ratu Tisha Destria seangkatan dengan Sekjen FIFA Fatma Samoura.
Mantan direktur kompetisi Indonesia Soccer Championship 2016 ini menjadi Sekretaris Jenderal PSSI per awal bulan ini. Karena posisinya itulah Tisha merahasiakan nama klub yang membuatnya cinta bola. ”Nanti saya diprotes rivalnya,” tutur Ratu Tisha Destria. Baca juga: Jadi Sekjen PSSI, Ratu Tisha Destria Torehkan Sejarah