TEMPO.CO, Jakarta -Kasus perundungan atau bullying yang menyebar viral di media sosial belakangan ini menyedot perhatian besar publik. Kasus pembulian yang ramai itu adalah atas dua kasus berbeda atas seorang mahasiswa berkebutuhan khusus dan seorang siswi SD.
Menurut Asosiasi Psikolog di Amerika Serikat (APA), kasus pembulian di kalangan anak-anak sekolah sendiri bukan hal baru. Banyak orang dewasa yang berpikir “namanya juga anak-anak” sehingga menganggap hal itu wajar. Padahal, kekerasan di dunia pendidikan tetap saja masalah serius dan terkadang konsekuensinya sangat berbahaya.
Psikolog terkenal Norwegia, Dan Olweus, PhD. menyebut kasus perundungan di kalangan siswa sangat negatif, tingkah laku yang keterlaluan antara satu atau lebih pelajar terhadap pelajar lain yang kesulitan membela diri. Kebanyakan kasus pembulian itu tanpa provokasi yang jelas terhadap siswa yang menjadi korban.
Dalam bukunya yang ditulis pada 1993, “Bullying at School: What We Know and What We Can Do”, Olweus menjelaskan karakter dari para siswa yang senang membuli dan korbannya.
Para pelaku cenderung menonjolkan karakter-karakter berikut: *Mereka sangat ingin menunjukan dominasi dan mengontrol para pelajar lain dan mengikuti kemauan mereka *Impulsif dan mudah marah *Membangkang dan agresif terhadap orang dewasa, termasuk orang tua dan guru *Tak ada empati terhadp pelajar yang menjadi korban *Bila laki-laki, fisik mereka lebih kuat dibanding bocah laki-laki lain secara umum
Sementara karakter korban biasanya: *Pendiam, sensitif, pemalu, dan senang menyendiri *Sering merasa gugup, ketakutan, tidak bahagia, dan kepercayaan diri yang rendah *Depresi dan sering merasa ingin bunuh diri *Tak punya teman dekat dan hubungannya lebih baik dengan orang dewasa daripada teman sebaya *Jika laki-laki, fisik mereka biasanya lebih lemah dibanding anak-anak yang lain
Seperti dilansir apa.org, kasus bullying lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Dan bila anak perempuan yang menjadi korban, pelakunya tetap saja mayoritas laki-laki. Tapi bukan berarti tak ada kasus anak-anak perempuan merundung sesama jenis meski kebanyakan tidak bersifat fisik melainkan berupa penghinaan terhadap atau mempermalukan korban. Meski tak ada kekerasan fisik, dampaknya tak jauh berbeda dari serangan fisik karena sama-sama membuat stres.