Dua terduga pelaku persekusi terhadap PMA, U dan M dibawa ke Polda Metro Jaya dari Polres Jakarta Timur, 1 Juni 2017. Tempo/Egi Adyatama
TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog pendidikan dan anak, Elizabeth Santosa, menyesalkan persekusi yang baru-baru ini terjadi kepada seorang anak berinisial PMA, 15 tahun, di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Ia mengatakan persekusi bisa berakibat traumatis, terutama jika terjadi pada anak-anak.
"Secara psikologis, dampak persekusi sangat menakutkan. Namun besar-kecilnya itu akan tergantung pada perspektif anak. Misalnya, jika mendapat pukulan, buat Anda keras, tapi belum tentu buat saya juga. Namun, buat saya, intimidasi itu yang paling buruk," katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 2 Juni 2017. (Baca: Persekusi di Cipinang Muara, Korban Dipukul Berkali-kali)
Persekusi juga bisa berdampak negatif pada kondisi psikologis korban yang sudah dewasa. Hanya, pada anak, kecenderungan kerusakan bisa lebih besar. "Mereka masih dalam kelompok anak yang belum punya pendeklarasian bahwa saya sudah menjadi satu individu," ujarnya. (Baca juga: Begini Pola dan Ancaman Persekusi Menurut SAFENet)
Pada kasus persekusi terhadap PMA di Cipinang Muara, Elizabeth mengatakan korban masih pada usia yang rentan terhadap berbagai pengaruh. Emosinya pun naik-turun. Elizabeth menuturkan kondisi tersebut membuat mereka berisiko jika mendapat informasi yang salah. Karena itu, setiap korban persekusi harus mendapatkan bimbingan.
Elizabeth menjelaskan, akibat persekusi bisa beragam. Salah satunya terwujud dalam bentuk ketakutan kepada publik dengan tak berani pergi ke sekolah. Bisa juga dalam bentuk ketakutan terhadap organisasi yang terasosiasi dengan kelompok yang mengintimidasinya.
Elizabeth menilai, dalam kasus PMA, yang paling menakutkan bukanlah penganiayaan, melainkan intimidasi. "Ancaman-ancaman dan menghakimi ramai-ramai itu yang menurut saya menyerang psikis," tuturnya. (Baca: Persekusi, Tindakan yang Lebih dari Main Hakim Sendiri)