TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi menghias jemari tangan dan kuku diperkirakan sudah dikenal sejak 5.000 tahun Sebelum Masehi. Penggunaan henna sebagai ornamen pada tangan dan kuku dianggap sebagai cikal bakal hiasan ujung jari bagi para wanita di dunia.
Seribu tahun kemudian, bangsa Babilonia mengenal metode menghias kuku dengan peralatan manikur yang terbuat dari emas. Cat kuku bukan untuk konsumsi wanita, melainkan digunakan untuk prajurit yang akan pergi berperang. Warna hitam dan hijau pada kuku menunjukkan kebesaran mereka.
Jejak pewarna kuku juga muncul dalam kebudayaan Cina. Tiga puluh abad yang lalu, mereka menciptakan campuran putih telur, lilin lebah, dan resin Arab sebagai bahan cat kuku. Untuk memberikan warna, mereka menambahkan kelopak mawar, anggrek, ataupun melati melalui proses yang sangat sulit.
Variasi rona merah dan hitam merupakan warna yang paling banyak dipakai oleh Dinasti Qing pada abad ke-15. Cina kala itu melarang penggunaan cat kuku secara bebas. Jika mewarnai kuku tanpa izin, seorang wanita dapat dihukum mati.
Gadis-gadis masa kini mungkin harus banyak berterima kasih kepada dua ratu Mesir—Cleopatra dan Nefertiti. Karena mereka, cat kuku merah menjadi populer. Saat itu warna merah untuk ujung jari juga masih eksklusif bagi wanita-wanita kerajaan. Rakyat jelata Mesir hanya boleh memakai cat kuku warna pastel.
Di Indonesia, kita mengenal inai alias pacar (Aglaia odorata) sebagai pemerah kuku. Ritual malam inai—menghiasi tangan dengan pacar dan belakangan juga henna—lazim dijalani pengantin wanita sebelum menikah dalam kebudayaan Minangkabau (Sumatera Barat), Nusa Tenggara Barat, Makassar (Sulawesi Selatan), dan sejumlah daerah lainnya.
Kutek—diserap dari Cutex, nama produsen cat kuku yang meluncurkan cat kuku pertama pada 1917—kini menjadi bagian sehari-hari dari kehidupan wanita.