Menelisik Apa Penyebab Autisme dan Tanda-tandanya
Editor
Rini Kustiani
Rabu, 12 Oktober 2016 08:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa tahun belakangan, jumlah penderita autisme meningkat. Pada 1996 ada 3,4 per 1.000 anak yang dilaporkan mengidap autisme, di 2010 jumlahnya naik menjadi 14,7 per 1.000 anak. Berdasarkan laporan terakhir, ada 14,6 dari 1.000 anak berumur 0–8 tahun yang mengidap autisme. “Itu artinya, 1 dari 68 anak menderita autisme," kata dokter spesialis anak, Hardiono Pusponegoro, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di kampus Universitas Indonesia, Depok, Sabtu, 24 September 2016.
Yuk, Berjalan Telanjang Kaki
Hardiono mengatakan autisme adalah gangguan pada anak yang memiliki ciri khusus kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Tanda-tanda awalnya sering kali berupa keterlambatan bicara dan kurangnya kontak mata.Anak juga memiliki perilaku, minat, serta aktivitas yang terbatas dan dilakukan berulang-ulang. “Kalau tak ditata laksana dengan baik, sebagian tetap tidak berbicara, tidak mau bergaul dengan temannya, sehingga tidak dapat bersekolah biasa," kata Hardiono.
Masalahnya, penyebab autisme masih gelap hingga kini.Berbagai faktor lingkungan sudah diteliti, tapi tak ada yang terbukti menyebabkan autisme.Faktor genetik sering disebut sebagai penentu terpenting dalam autisme. "Tapi genetik mana yang berperan belum tersingkap," ujarnya. Akibatnya, belum ada obat yang pas untuk mengatasi masalah ini.
Tapi, Hardiono mengungkapkan, orang tua bisa mengenali lima tanda-tanda autisme pada anak, yakni:
1. Tidak ada babbling atau mengoceh “mamama”, “bababa”, tidak menunjuk, atau tidak memperlihatkan mimik wajah yang wajar pada usia 12 bulan.
2. Tidak ada kata berarti pada usia 16 bulan.
3. Tidak ada kalimat yang terdiri atas dua kata yang bukan pengulangan kata pada usia 24 bulan.
4. Hilangnya kemampuan berbahasa atau kemampuan bersosialisasi pada usia berapa pun.
5. Anak tidak menoleh atau sulit menoleh bila dipanggil namanya pada umur 6 bulan hingga 1 tahun.
Bila orang tua mencurigai adanya tanda-tanda tersebut, anak perlu dinilai secara khusus oleh ahli.Tanpa penilaian yang tepat, 39 persen kasus gagal dideteksi. Jika hasilnya benar bahwa anak mengalami autisme, orang tua harus siap mengikutsertakan anaknya dalam program terapi. Proses ini butuh waktu, biaya, dan pengorbanan yang besar.
Menurut Hardiono, ada berbagai penyakit penyerta yang terjadi bersama autisme. Misalnya, disabilitas intelektual yang terjadi pada 30 persen anak autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, gangguan tidur, serta epilepsi.Gangguan tersebut bisa diterapi dengan obat. Meski begitu, pengobatannya hanya bersifat mengurangi gejala apabila anak menunjukkan perilaku hiperaktif dan berbagai gejala berat seperti tantrum, agresif, atau menyakiti diri sendiri.
Terapi yang paling baik, ucap dia, tetaplah intervensi non-obat yang disesuaikan dengan umur dan kondisi anak. Dia mencontohkan, terapi wicara. Anak juga harus disekolahkan dengan guru yang terlatih dalam terapi perilaku. Hasil penelitian pada 165 anak yang mendapat terapi baik menemukan 75 persen anak bisa berbicara, 1 persen anak dapat berbicara sedikit, dan 15 persen tetap tak bisa berbicara.
Ada pula terapi melalui digital. Teknologi, khususnya dalam bentuk tablet, telah merevolusi cara anak-anak autisme dalam belajar dan berkomunikasi. Namun sebagian besar aplikasi yang ada, khususnya untuk mobile, berasal dari luar negeri, sehingga sulit diterapkan untuk anak-anak Indonesia. Salah satu software untuk penyandang autisme buatan Indonesia, yaitu Cakra. Salah seorang pembuat aplikasi Cakra, Nurul Wakhidatul Ummah, mengatakan memfasilitasi pengunduhan Cakra versi gratis (bronze) untuk platform desktop, selain versi berbayar, yaitu versi gold dan silver.
Nurul mengisahkan perjalanan pembuatan aplikasi Cakra itu dimulai saat mereka duduk di bangku semester III jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada 2012. Kala itu mereka mendapat tugas kuliah bertema game. Ia dan Muhammad Rizky Habibi berinisiatif membuat aplikasi bagi anak autis. Kemudian mereka bertemu dengan pendiri Cakra Autism Center, Illy Yudiono. Dari Illy, mereka mulai memperbaiki fitur yang ada.
Untuk menggunakan aplikasi ini, pada layar pertama setelah masuk login, terdapat tiga pilihan fitur utama, yakni Evaluasi, Terapi, dan Laporan. Fitur Evaluasi menawarkan evaluasi atas kemampuan dasar si anak, apakah ia tergolong autis ringan, sedang, atau berat. Memasuki fitur terapi, si ibu atau terapis diberi dua pilihan, terapi free mode dan terapi structured.
"Free mode untuk yang langsung masuk ke pilihan-pilihan modul secara bebas, terserah mulai dari pengenalan buah, angka, disesuaikan dengan tingkatan autismenya; dasar, menengah, atau lanjut," ujar Nurul. Sedangkan terapi structured bagi mereka yang ingin memulai dari awal langkah-langkah terapi.
Illy Yudiono mengatakan sebagian besar anak autis suka bergelut dengan gadget. Maka tujuan membuat aplikasi permainan itu sebagai pemantik awal agar menarik minat anak belajar. Selain itu, saat orang tua sedang berkutat dengan urusan pekerjaan rumah tangga, si anak dapat disibukkan sementara dengan aplikasi itu. Hal itu dinilainya lebih baik dibanding sekadar menonton serial kartun yang tidak memberikan edukasi. Namun, ia menegaskan, penggunaan gadget berikut aplikasi tersebut tak boleh terlalu lama. "Sebab, dengan gadget, informasi menjadi hanya satu arah," tuturnya. Padahal permasalahan terbesar anak autis ialah berinteraksi.
NUR ALFIYAH | ARTIKA RACHMI FARMITA
Berita lainnya:
6 Posisi Lengan Agar Menarik Saat Difoto
Sandra Dewi Buka Rahasia Rambut Indah
Tip Mengajarkan Empati pada Anak ala Jennifer Garner