Metode Paliatif Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Kanker
Editor
R. Dina Andriani
Selasa, 20 September 2016 17:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Selama beberapa waktu terakhir, angka penderita kanker di Indonesia meningkat. Hal ini membuat dunia medis dan para pemerhati kanker terus mengupayakan berbagai metode pengobatan yang dapat meringankan beban para penderita kanker.
Ada begitu banyak metode pengobatan kanker yang sudah familiar di tengah masyarakat, antara lain metode pembedahan, kemoterapi dan radioterapi.
Selain ketiga metode tersebut, adapula metode perawatan paliatif yang merupakan salah satu metode yang bersifat terpadu, aktif dan menyeluruh, yang dilakukan dengan pendekatan multidisiplin, terintegrasi antara dokter, dokter spesialis, perawat, terapis, petugas sosial medis, psikolog, rohaniawan, relawan dan profesional lain yang diperlukan.
Jika metode pengobatan pada umumnya bertujuan untuk mengobati dan menyembuhkan secara fisik, maka lain halnya dengan metode paliatif.
Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dan Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp. PD-KHOM menjelaskan, melalui metode paliatif ini maka penderita kanker akan belajar untuk berdamai dengan penyakitnya.
Dengan begitu, perlahan-lahan mereka tidak lagi melihat kanker sebagai momok menakutkan yang membuat tingkat stres dikalangan penderita semakin tinggi. Seperti diketahui, stres yang tinggi akan memperburuk kondisi penderita.
Perasaan bahagia, jauh dari stres sangat diperlukan bagi para penderita kanker untuk membantu proses penyembuhan. Adapun penderita kanker stadium akhir yang menerapkan metode ini, acapkali dapat membuat tingkat harapan hidup mereka lebih panjang dari vonis yang telah dijatuhkan dokter.
Namun, masih banyak masyarakat dan para penderita kanker di Indonesia yang belum mengetahui metode paliatif ini.
"Oleh karena itu YKI merasa turut bertanggungjawab untuk bekerjasama dengan pihak medis dalam mensosialisasikan metode ini," tuturnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Selasa, 20 September 2016.
Sosialisasi yang dilakukan salah satunya melalui kegiatan bertajuk RetroRun, yakni sebuah ajang lari mundur revolusioner yang pertama di Indonesia pada Minggu, 18 September 2016.
Berita lainnya:
Kanker Otak Ternyata Lebih Mengancam daripada Leukimia
Ini Gejala Kanker Kepala Leher
Waspadalah 5 Jenis Kanker yang Sulit Dideteksi