TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian besar orang yang sedang mencari kerja pasti akan menghindari perusahaan yang sedang dilanda krisis. Namun, lain halnya dengan Liana Kuswandi.
Liana bergabung ke Laboratorium Klinik Prodia saat diterpa banyak masalah pada 2007. Sebagai Direktur Keuangan, Liana sukses mengangkat kinerja perusahaan dan kini bersiap untuk melantai di bursa.
“Saya menerima tagihan utang ke supplier, penggunaan bahan kimia sampai lebih dari Rp 30 miliar plus denda hampir Rp 100 juta. Saya berusaha bernegosiasi agar dendanya hilang. Saya masuk pertengahan 2007, baru lewat masa kritisnya Desember 2007,” katanya.
Liana melakukan banyak cara seperti meminta perpanjangan waktu dan memperbaiki pembayaran. Pada saat yang bersamaan, dia juga mempelajari laporan keuangan, neraca keuangan, dan melihat ada piutang yang tidak ditagih, penagihan tidak intens tapi nilainya cukup besar. Bahkan, ada kerjasama yang tidak memakai perjanjian.
Ketika evaluasi kinerja direalisasikan, kinerja Prodia terangkat. Pendapatan naik menjadi Rp 1,19 triliun di 2015 dibanding realisasi tahun 2007 yang hanya Rp 406 miliar. Liana memegang teguh prinsip dasar sebagai Chief Financial Officer, yakni menjaga likuiditas tetap kuat dan keuntungan perusahaan terus bertambah. Caranya, dengan terus menambah cabang dan produk pemeriksaan.
Selain membenahi likuiditas, Liana juga membenahi sistem pelaporan. Kalau sebelumnya laporan dari cabang baru diterima kantor pusat memakan waktu sampai 11 hari, kini dipersingkat menjadi tiga hari. Staf keuangan di cabang pun diperbaiki karena kebanyakan tidak memiliki kompetensi yang sesuai.
Kemudian, sistem pelaporan bisa diakses secara online (ERP Project). “Apalagi, kami mau go public. Semuanya harus rapi termasuk investasi di sistem IT dan perizinan. Jadi, yang lama-lama dibersihkan dulu untuk memulai hidup yang baru,” ujar dia.