TEMPO.CO, Jakarta -Senyum seolah pantang meninggalkan wajah Dissa Syakina Ahdanisa. Seperti yang terpampang di rautnya sepanjang Sabtu siang dua pekan lalu, saat dia mendampingi karyawannya mengikuti pelatihan membuat roti di Kafe Fingertalk, di Pamulang Timur, Tangerang Selatan. Padahal dia baru saja mendarat dari Singapura, tempatnya bekerja sebagai analis saham di suatu bank multinasional.
Ekspresi memang menjadi modal Dissa. Perempuan 25 tahun itu menggerakkan kafe tersebut dengan bantuan 12 karyawan, yang semuanya tunarungu. Berinteraksi dengan kaum mereka, menurut Dissa, punya keasyikan sendiri. Dia mesti berbicara dengan gerak bibir yang jelas dilengkapi tarian jemari untuk menegaskan setiap perkataan. “Makanya jadi sangat ekspresif meski tak ada suara,” ujarnya kepada Tempo di lokasi. “Berbicara dengan mereka harus memberikan perhatian penuh. Mata bertemu mata.”
Membangun lapangan pekerjaan untuk kaum difabel merupakan impiannya sejak kecil. Mengikuti jejak ibunya yang aktif di berbagai kegiatan sosial. Namun dia kesulitan karena tidak memiliki pengalaman bekerja dengan penyandang disabilitas dan koneksi ke mereka.
Peruntungannya berubah saat dia mengajar di sebuah lembaga swadaya masyarakat di Nikaragua pada 2013. Dua bulan di sana, dia berkesempatan mengunjungi Café de las Sonrisas—yang berarti kafe senyuman—di Granada. Semua karyawannya tunarungu. Mereka juga dilatih membuat hammock alias buaian untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Belajar dari kafe senyuman di Nikaragua, Dissa membulatkan tekad membuka kedai kopi serupa di dekat rumahnya di Pamulang. Untuk memuluskan niatnya, dia menemui Pat Sulistyowati, mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia. Lewat perempuan 66 tahun itu, Dissa memperoleh jalan ke komunitas tunarungu.
Jadilah Cafe Fingertalk beroperasi mulai 3 Mei 2015—menempati gudang di halaman rumah Pat. Kelima karyawannya merupakan tunarungu. Dissa, yang bekerja di Singapura sejak 2014, menyempatkan pulang sepekan sekali untuk mendampingi mereka.
Menurut Dissa, tantangan terbesar usahanya adalah menyemangati para karyawan untuk tidak merasa canggung berhadapan dengan banyak orang. “Untungnya, perlahan mereka bisa percaya diri, malah jadi sangat bersemangat,” ujar dia.
Supaya komunikasi semakin lancar, Dissa mengikuti pelatihan bahasa isyarat di Singapore Association for The Deaf. Ilmunya dia turunkan kepada para karyawannya sehingga menguasai bahasa isyarat untuk tamu asing, di samping Bisindo alias bahasa isyarat Indonesia.
Bersama Pat, dia juga melatih para karyawannya menjahit, membatik, dan mendaur ulang sampah. Setahun berjalan, jumlah karyawannya berlipat menjadi 12 orang. Dissa bercita-cita memperluas usaha Fingertalk sehingga memberi peluang bagi lebih banyak tunarungu dan kaum difabel lain.
Thie Santoso, penyandang tunarungu, mengatakan upaya Dissa lewat Fingertalk membantu membangkitkan kepercayaan diri kaum difabel. Menurut perempuan 25 tahun ini, meski mengantongi gelar sarjana, penyandang disabilitas sulit mendapatkan pekerjaan. Dia merasakan betul pahitnya pengalaman saat ratusan berkas lamaran yang dia kirimkan terbentur dinding. Kemudian dia memilih untuk berwirausaha di bidang kuliner. "Dissa sangat peduli kepada anak-anak tunarungu, tinggal mengajarkan lebih banyak hal soal kuliner kepada karyawannya," ujar Thie. *
BOKS
Dissa Syakina Ahdanisa
Lahir : Jakarta, 29 Februari 1990
Pendidikan :
- Master Akuntansi, University of New South Wales, Sidney, 2012
- Sarjana Bisnis, Ritsumeikan Asia-Pacific Management University, Beppu, Jepang, 2010
- SMA Negeri 70 Jakarta, 2006
Pekerjaan : Analis Saham
Aktivitas : Pendiri Cafe Fingertalk, Jalan Pinang, Pamulang Timur, Banten
AISHA SHAIDRA