Makanan Olahan Tinggi GGL Penyebab Obesitas, Cek Risikonya
Reporter
Eka Wahyu Pramita
Editor
Mila Novita
Kamis, 30 April 2020 21:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Penyakit tidak menular atau PTM dipicu oleh dua faktor risiko. Pertama, yang tidak bisa diubah seperti usia, jenis kelamin, dan genetik. Kedua, yang bisa diubah seperti merokok, kurang aktivitas fisik, pola makan tidak sehat, obesitas, darah tinggi, dan pre-diabetes. Faktor risiko tersebut memicu empat penyakit, yaitu kardiovaskular, stroke, kanker, diabetes, dan gagal ginjal.
Direktur Direktur Pencegahan dan Pengendalian penyakit tidak menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, dokter Cut Putri Arianie, mengatakan salah satu faktor risiko yang meningkat tajam adalah obesitas. Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2018 menunjukkan obesitas meningkat dari 14,8 persen menjadi 21,8 persen.
Salah satunya penyebab obesitas adalah pola makan tidak sehat. Ini berkontribusi pada kematian serta kecacatan di Indonesia.
"Orang Indonesia lebih banyak mengonsumsi makanan yang berisiko, seperti makanan olahan dan siap saji sebanyak 32,7 persen dibanding sumber makanan lain seperti padi-padian, sayur-sayuran, telur, susu dan lainnya," ucap Cut dalam diskusi yang digelar P2PTM Kemenkes RI bertema "Cerdas Memilih Makanan dan Minuman untuk Cegah Faktor Risiko PTM dan Tingkatkan Imunitas Selama Pandemi Covid-19" Kamis, 30 April 2020.
Di masa pandemi Covid-19, pola makan menjadi perhatian karena sangat mempengaruhi imunitas tubuh kita. Ditambah ada transisi kebiasaan dari masak sendiri menjadi semua mudah didapat melalui layanan online. Kita tidak tahu apakah makanan tersebut bergizi atau tidak. Ditambah lagi aktivitas fisik yang juga berkurang.
Perlu diketahui juga jika dalam makanan dan minuman olahan terdapat asupan gula, garam, dan lemak (GGL) yang kandungan lebih dari kebutuhan.
"Konsumsi GGL kita sangat tinggi, inilah faktor risiko terserang PTM. Saat ini hipertensi menjadi penyakit kedua tertinggi. Usia harapan hidup juga bisa menambah risiko jika pola makan tidak diubah," tambahnya.
Jika menilik revalensi konsumsi GGL di Indonesia, jumlah konsumen dengan ragam makanan yang mengandung GGL masih tinggi.
Sebanyak 5 dari 100 orang Indonesia mengonsumsi gula lebih dari 50 gram/hari. Konsumen tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk garam, sebanyak 53 dari 100 orang Indonesia mengonsumsi lebih dari 2.000 mg/hari. Konsumen tertinggi di Jakarta.
Sedangkan lemak, sebanyak 27 dari 100 orang Indonesia mengonsumsi lebih dari 67 gram/hari. Konsumen tertinggi di Jakarta
"Belum termasuk dampak konsumsi softdrink yang dikonsumsi kaum muda dengan 11 persen dari kalori. Setiap minuman ringan 12 ons per hari yang dikonsumsi oleh anak meningkatkan potensi menjadi obesitas sebesar 60 persen," ucap dia.
Putri mengatakan, untuk membakar kalori dari sekaleng soda 12 ons, seorang anak yang beratnya 37,5 kilogram harus bersepeda dengan semangat selam 30 menit dan orang dewasa harus berjalan dengan kecepatan sedang selama 25 menit.
Menurut Cut Putri, PTM adalah dampak gaya hidup yang tidak sehat. Pencegahan faktor risiko PTM adalah dengan menjaga keseimbangan asupan kalori dan energi yang dikeluarkan.
"Pentingnya pemahaman tentang label pangan dapat membantu konsumen untuk memilih dan memilah pangan sebagai salah satu cara menjaga kesehatan. Di beberapa negara telah menerapkan kebijakan kemasan makanan dan minuman manis berpajak agar bisa membatasi pilihan konsumen," kata dia.
Faktor risiko selain pola makan tidak sehat, kurang aktivitas fisik, merokok dan obesitas juga berpengaruh. Oleh sebab itu, Putri mengatakan masyarakat perlu ikut bertanggung jawab pada kesehatan dirinya sendiri dengan tidak mengonsumsi makanan tinggi GGL.