Perkawinan Anak, Ketika Menikah sebelum Dapat Ijazah

Reporter

Tempo.co

Editor

Mila Novita

Senin, 25 November 2019 20:30 WIB

Ilustrasi pernikahan

TEMPO.CO, Jakarta - Eneng (bukan nama sebenarnya) berjalan berlahan menuju Puskesmas sebuah desa di Kecamatan Cigombong, Jawa Barat. Perempuan paruh baya itu menggendong erat seorang bayi. Di belakangnya, seorang remaja mengikuti. Remaja itu adalah Dini (bukan nama sebenarnya), 16, anak pertama Eneng. Dan bayi di gendongan Eneng adalah anak Din yang jadi korban perkawinan anak dua tahun lalu.

Bayi itu merupakan buah perkawinan Dini dengan Deden (bukan nama sebenarnya), suami yang kini telah menceraikannya. Dini menikah siri dengan laki-laki yang usianya terpaut hampir 10 tahun itu ketika masih kelas dua SMP.

Pernikahan ini berjalan baik-baik saja di bulan-bulan pertama. Suami Dini yang tinggal di rumah orang tuanya di kampung tetangga, masih sering mengunjungi. Tapi lama kelamaan kunjungan itu semakin jarang. Pertengkaran pun sering muncul hingga akhirnya mereka bercerai ketika sang anak berusia dua bulan.

“Sekarang nyesal. Saya sudah nggak sekolah, padahal dulu saya pengin jadi guru,” kata Dini ketika ditemui Senin, 18 November 2019.

Sambil memain-mainkan tangannya, Dini bercerita bahwa dia pernah berpikir ingin melanjutkan sekolah, mengikuti program Kejar Paket B agar punya ijazah SMP. Tapi ia mengurungkan niat. Dia memutuskan untuk bekerja saja agar bisa dapat uang untuk memenuhi kebutuhan sang anak. Saat ini seluruh kebutuhan dia dan anaknya ditanggung oleh sang ayah alias kakek anaknya.

“Nanti kalau sudah punya KTP mau cari kerja. Sekarang belum bisa,” kata Dini

Advertising
Advertising

Dini adalah satu di antara lebih dari 20 korban pernikahan anak yang terjadi selama kurun waktu 2016-2019 di desa itu, sebuah desa kecil di Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah dengan kasus pernikahan anak tertinggi di Jawa Barat. Jawa Barat termasuk 22 provinsi dengan angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional. Survei Badan Pusat Statistik atau BPS 2018 bahwa sebanyak 13,3 persen perempuan di Jawa Barat usia 20-24 tahun pernah menikah pada usia di bawah 18 tahun, sedangkan di Indonesia rata-rata 11,9 persen. Artinya, 1 dari 9 perempuan di Tanah Air menikah di usia anak-anak. Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan pernikahan anak tertinggi ketujuh di dunia dan kedua di ASEAN.

<!--more-->
Antara ekonomi dan budaya

Ilustrasi anak kecil pacaran. huffpost.com

Sekretaris cabang Koalisi Perempuan Indonesia atau KPI Bogor Mega Puspita mengatakan, perkawinan anak di Kabupaten Bogor kebanyakan terjadi karena pergaulan bebas, imbas dari akses Internet tanpa pengawasan orang tua. “Mereka terjerumus karena kurang perhatian orang tua,” kata Mega yang mendirikan KPI cabang Bogor pada 2016.

Namun, jika ditarik akar masalahnya, penyebab utamanya adalah masalah ekonomi. Anak-anak yang melakukan perkawinan ini kurang mendapatkan perhatian orang tua karena baik ibu atau ayah sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Karena mereka tak dapat membayar pengasuh, anak pun dititipkan ke nenek atau kakeknya yang umumnya bekerja sebagai petani.

Selain masalah ekonomi, Mega juga mengatakan perkawinan anak banyak terjadi karena budaya setempat. Kebanyakan orang desa tidak terbiasa melihat kedekatan anak laki-laki dan perempuan. Jadi jika ada sepasang anak yang sering bersama, muncullah cibiran dari tetangga yang dianggap dapat merusak nama baik.

“Mereka takut pada omongan tetangga, kalau nggak dinikahkan akan berzina. Selain omongan tetangga, banyak juga yang takut anaknya disebut perawan tua,” ujar Mega. Ia juga tak menampik masih ada anggapan bahwa menikah merupakan salah satu langkah untuk menghindari zina.

Ancam pembangunan berkelanjutan

Perkawinan anak menjadi ancaman serius bagi tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) dari segala sisi, baik kesehatan, kemiskinan, pendidikan, hingga kesetaraan gender dan perlindungan anak.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan, korban perkawinan anak berpotensi hamil dan melahirkan dengan risiko tinggi sehingga dapat meningkatkan angka kematian ibu. Mereka juga rentan kekurangan gizi karena masih mengalami pertumbuhan. Ketika butuh gizi untuk tumbuh, mereka juga harus memenuhi kebutuhan gizi bayi yang ada di kandungannya.

Akibatnya, bayi yang dilahirkan berisiko mengalami gizi buruk pada 1.000 hari pertama kahidupan. Ditambah lagi, ketidaksiapan mereka menjadi ibu secara emosional membuat anak berisiko mendapatkan stimulasi yang tidak tepat.

“Pada masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) tidak tercukupi asupan gizi dan asupan pendidikan motorik dan emosional. Padahal 1.000 HPK adalah masa penentu perkembangan otak dan penentu kualitas manusia,” ujar Dian.

Dian menambahkan, kebanyakan anak yang menikah juga terpaksa putus sekolah sehingga tidak mendapatkan pendidikan cukup yang menjadi hak mereka, seperti yang dialami Dini. BPS menyebut, sebanyak 44,9 persen perempuan yang menikah di usia anak-anak hanya lulus SMP, sisanya SD sebanyak 33,9 persen, SMA 11,8 persen, dan tidak sekolah 9,4 persen. Ini artinya, perkawinan anak ikut berkontribusi atas rendahnya kualitas SDM Indonesia.

Ketika dalam perkawinan tersebut lahir anak, maka orang tua yang masih anak-anak itu harus mencari kerja untuk menghidupi anaknya. Dengan pendidikan yang rendah, umumnya mereka akan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang rendah pula. Akibatnya, mereka akan memiliki daya beli yang rendah, termasuk untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Risiko anak mengalami kekurangan gizi pun menjadi tinggi.

<!--more-->

Rentan perceraian

Ilustrasi perceraian. Shutterstock

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Selain rentan mengalami masalah kesehatan dan kemiskinan, perkawinan anak banyak yang berakhir dengan perceraian. Data BPS 2010 menunjukkan kasus perceraian tertinggi menimpa kelompok usia 20–24 tahun dengan usia pernikahan belum genap lima tahun.

Temuan Nicholas Wolfinger, seorang profesor dari studi keluarga dan konsumsi dan sosiologi di Universitas Utah, Amerika Serikat, pun serupa. Ia melakukan studi terhadap data National Survey of Family Growth (NSFG) Center for Desease Control and Prevention, AS, periode 2006 hingga 2010. Hasilnya, angka perceraian tertinggi terjadi pada pasangan yang menikah di bawah usia 20 tahun, yaitu 32 persen, disusul dengan usia 20-24 tahun sebesar 20 persen.

Psikolog dari Yayasan Sejiwa, Diena Haryana, mengatakan perceraian pada perkawianan anak sangat mungkin terjadi karena remaja cenderung sangat emosional. Mereka belum menjadi pribadi yang utuh untuk mengetahui hal yang baik dan buruk, bagaimana berbagi dalam sebuah hubungan, bagaimana mengatasi konflik dan memecahkan masalah, juga belum memiliki kemampuan membuat rencana masa depan bersama.

“Sehingga ketika perceraian itu terjadi tidak mengagetkan karena keputusan mereka impulsif. Mereka masih pengin main, karena dunia anak adalah bermain,” kata dia.

Diena mengatakan usia yang ideal untuk menikah adalah di atas 20 karena kematangan otak umumnya terjadi di usia 25 tahun. Pada usia tersebut karakter telah terbentuk sehingga orang tersbeut sudah memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan apakah dia benar-benar cinta hingga ingin menikah, nalarnya pun sudah jalan.

Selain masalah emosional, kemiskinan yang terjadi pada perkawianan anak juga bisa memicu pertengkaran terus-menerus yang berujung pada perceraian.

Setelah bercerai, ke mana anak-anak mereka? Kebanyakan dititipkan kepada nenek dan kakeknya. Anak-anak ini pun akhirnya kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya yang kebanyakan memilih bekerja di tempat lain atau menikah lagi. Perceraian menambah risiko anak-anak kurang perhatian dari orang tua, termasuk masalah pemenuhan gizi dan pendidikan. Padahal, anak-anak inilah yang akan menjadi bagian dari masa depan pembangunan Indonesia.

<!--more-->

Usia minimal 19 tahun

Seorang aktivis dari aliansi perempuan melakukan aksi simpatik meletakan karangan bunga setelah mengikuti pembacaan putusan uji materi UU Perkawinan dan beda agama, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 18 Juni 2015. Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan atas putusan MK yang menolak seluruh Permohonan UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 7 (ayat 1). TEMPO/Imam Sukamto

Nikah di usia anak-anak sebenarnya tidak mudah. Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimal pernikahan adalah 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Undang-undang sebelumnya menyebutkan bahwa usia pernikahan minimal untuk perempuan adalah 16 tahun. Jika calon pengantin berusia kurang dari itu, sudah pasti ditolak Kantor Urusan Agama atau KUA, lembaga negara yang bertugas melaksanakan pernikahan secara resmi bagi umat Islam.

Namun, bukan berarti mereka tidak dapat menikah secara legal. Calon pengantin bisa mengajukan permohonan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri setempat melalui sidang. Tapi tak semua permohonan dispensasi bisa dikabulkan.

Di Kabupaten Bogor, permohonan dispensasi pada 2018 tercatat ada 21 dan hanya 19 yang diputus. Sementara di seluruh Indonesia, dispensasi nikah di Pengadilan Agama pada 2018 sebesar 13.815.

Namun, jumlah permohonan dispensasi nikah ini jauh lebih sedikit dari kenyataan perkawinan anak di lapangan. Panitera Muda Hukum di Pengadilan Agama Kabupaten Bogor Tati Sunengsih, mengatakan pernikahan anak lebih banyak terjadi tanpa dispensasi nikah.

“Perkawinan anak akhirnya banyak yang dilakukan secara siri karena banyak yang tidak mau repot mengurus pernikahan secara resmi,” kata Tati.

Tingginya angka pernikahan siri di kabupaten ini terlihat dari jumlah permohonan isbat nikah untuk melegalkan perkawinan siri. Pada 2018, tercatat ada 906 permohonan isbat yang telah diputuskan di pengadilan ini, jauh lebih banyak daripada permohonan dispensasi nikah. “(Pemohon) ada yang masih anak-anak hingga sudah tua,” ujar Tati.

Seperti kebanyakan pernikahan anak, Dini pun tak mengajukan permohonan dispensasi atau isbat nikah. Kini, itu tak lagi penting baginya. Ia hanya ingin bekerja, meski belum sempat mendapat ijazah SMP.

Berita terkait

Persoalan yang Bisa Muncul Akibat Menikah karena Dijodohkan

1 hari lalu

Persoalan yang Bisa Muncul Akibat Menikah karena Dijodohkan

Perjodohan memang tak selalu berjalan mulus apalagi bila tanpa cinta. Berikut beberapa persoalan yang bisa muncul bila menikah karena dijodohkan.

Baca Selengkapnya

Bocah 15 Tahun jadi Korban Persetubuhan Sang Kekasih, Ibunya Lapor Polisi

3 hari lalu

Bocah 15 Tahun jadi Korban Persetubuhan Sang Kekasih, Ibunya Lapor Polisi

DP seorang anak wanita berusia 15 tahun menjadi korban dugaan persetubuhan anak di bawah umur. Pelaku diduga pemilik sebuah BAR.

Baca Selengkapnya

Saksi Ungkap Sering Bayari Biaya Ulang Tahun Cucu Syahrul Yasin Limpo Pakai Uang Kementan

3 hari lalu

Saksi Ungkap Sering Bayari Biaya Ulang Tahun Cucu Syahrul Yasin Limpo Pakai Uang Kementan

Menjawab itu, Isnar mengatakan putra Syahrul Yasin Limpo, Redindo juga pernah meminta uang kepadanya.

Baca Selengkapnya

Pentingnya Ibu Pahami Jenis Bahasa Kasih Sayang pada Anak dan Keluarga

3 hari lalu

Pentingnya Ibu Pahami Jenis Bahasa Kasih Sayang pada Anak dan Keluarga

Ibu cerdas perlu mengetahui bahasa kasih sayang agar bisa disampaikan kepada keluarga dan anak.

Baca Selengkapnya

3 Contoh Sambutan Lamaran Pihak Wanita Singkat dan Romantis

3 hari lalu

3 Contoh Sambutan Lamaran Pihak Wanita Singkat dan Romantis

Saat momen lamaran, jangan lupa menyiapkan sambutan lamaran pihak wanita yang singkat dan juga romantis. Berikut ini contoh sambutannya.

Baca Selengkapnya

OJK Imbau Para Ibu agar Tak Ciptakan Generasi Sandwich

4 hari lalu

OJK Imbau Para Ibu agar Tak Ciptakan Generasi Sandwich

toritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan para ibu agar tidak menciptakan generasi sandwich. Apa itu?

Baca Selengkapnya

Tips dan Cara Membuat Kartu Nikah Digital

4 hari lalu

Tips dan Cara Membuat Kartu Nikah Digital

Kartu nikah digital lebih praktis karena dokumen tidak berpotensi hilang atau sobek.

Baca Selengkapnya

Kuasa Hukum Ungkap Ada Perjanjian Pisah Harta Antara Sandra Dewi dan Harvey Moeis

7 hari lalu

Kuasa Hukum Ungkap Ada Perjanjian Pisah Harta Antara Sandra Dewi dan Harvey Moeis

Harvey Moeis dan Sandra Dewi melakukan pisah harta saat keduanya resmi menikah pada 2016 lalu.

Baca Selengkapnya

Jokowi dan Maruf Amin jadi Saksi Nikah Puteri Kelima Bamsoet

7 hari lalu

Jokowi dan Maruf Amin jadi Saksi Nikah Puteri Kelima Bamsoet

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo atau Bamsoet, menikahkan puteri kelimanya, Saras Shintya Putri (Chacha) dengan Avicenna Athalla Zaki Ghani Alli (Athalla), di Hotel Mulia, Jakarta, Sabtu 20 April 2024.

Baca Selengkapnya

Kenali Penyebab dan Kiat Menangani Anak yang Gemar Berbohong

8 hari lalu

Kenali Penyebab dan Kiat Menangani Anak yang Gemar Berbohong

Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan ketika mendapati anak berbohong.

Baca Selengkapnya