Penderita Hepatitis Susah Dapat Kerja, Simak Penjelasan Dokter
Reporter
Rini Kustiani
Editor
Rini Kustiani
Selasa, 3 Oktober 2017 22:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hepatitis bukan penyakit baru. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang salah kaprah tentang penyakit yang rentan menyebabkan gangguan hati ini. Bahkan tidak sedikit yang menyematkan stigma negatif bagi para penderitanya, semisal dianggap tidak bisa produktif dan lemah.
Bahkan stigma ini terbawa hingga lingkungan kerja, di mana beberapa perusahaan mewajibkan tes HBsAg (protein virus dalam tubuh) untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi virus hepatitis B atau tidak. Dalam beberapa kasus yang dijabarkan perwakilan Komunitas Peduli Hepatitis, Marzuita, hasil tes HbsAg menjadi syarat lulus tidaknya seseorang ketika melamar pekerjaan hingga menjadi pertimbangan saat akan naik pangkat. "Rata-rata ada 10 kasus diskriminasi pekerja akibat tes ini dalam setiap tahunnya," ujar Marzuita.
Baca juga:
Sakit Hepatitis, yang Kuning Bukan Kulitnya tapi...
Ibu Hamil, Waspada Penularan Hepatitis B dari Ibu ke Anak
Nafsu Makan Berkurang? Mungkin Hepatitis Sedang Mengintai
Dr. dr. Kasyunil Kamal, M.S, Sp.OK dari Perhimpunan Dokter Spesialis Okupasi atau Perdoki mengatakan pemeriksaan HBsAg tidak semestinya dilakukan karena pemerintah melarangnya berdasarkan surat edaran dari Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan tahun 1997 tentang peniadaan tes hepatitis B dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja.
Hanya saja, Kasyunil menjelaskan, ada beberapa jenis pekerjaan tertentu yang memang sebaiknya dilakoni oleh mereka yang tidak memiliki gangguan fungsi hati. "Misalnya tenaga medis yang mesti kontak dengan pasien atau pekerjaan yang berhubungan dengan pengolahan makanan," katanya.
Pemeriksaan kesehatan bagi para pencari kerja atau pertimbangan dalam kenaikan jabatan, Kasyunil melanjutkan, sebaiknya dilakukan atas tiga pertimbangan, yakni apakah pekerjaan tersebut akan memperberat penyakit, berpotensi menular, atau menimbulkan risiko keselamatan kerja di lingkungannya
Jika masyarakat khawatir penularan hepatitis, Ketua Komisi Ahli Hepatitis dari Kementerian Kesehatan Dr. dr. Rino A. Gani, Sp.PD-KGEH menjelaskan penularan hepatitis B dan C tidak terjadi dengan mudah, melainkan harus melalui kontak darah. Rino melanjutkan, selama tidak terjadi peradangan dan mengganggu fungsi hati, pengidap hepatitis tetap bisa produktif.
Lagipula, kata Rino, tidak semua hepatitis B menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsi hati. Meski menyerang hati, virus hepatitis tidak selamanya sebabkan gangguan pada hati. "Kalau tidak menimbulkan gangguan pada hati, tidak perlu diobati dan cukup dimonitor secara berkala," ujarnya.
Untuk mendeteksi kerusakan hati bisa dilakukan dengan memeriksa SGOT/SGPT atau zat yang terdapat dalam sel hati. "Sel ini akan keluar dan mengalir ke darah jika hati mengalami kerusakan. Kalau SGOT/SGPT banyak dalam darah berarti ada masalah pada hati," ucapnya. Sedangkan hepatitis yang menyebabkan gangguan pada hati, harus diatasi dengan obat yang mencegah perburukan penyakit hati.
Meski belum ada obat yang bisa menghilangkan virus ini, beberapa obat mampu menekan virus dan bisa jadi penderita hepatitis akan mengkonsumsi obat tersebut dalam tempo lama atau hingga seumur hidup. Konsumsi obat seumur hidup ini ujar Rino, tidak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain. “Tapi bukan hanya hepatitis B yang minum obat seumur hidup. Hipertensi, diabetes atau kolesterol pun demikian," ungkapnya.
Rino menambahkan, hepatitis B butuh waktu 20-30 tahun hingga menimbulkan kerusakan hati menjadi sirosis yang menyebabkan hati mengecil, mengeras hingga fungsi hati menurun dan menjadi kanker hati. Hal ini biasanya akibat peradangan yang terjadi terus menerus.
TABLOIDBINTANG