TEMPO.CO, Solo - Esti Kiswandari Asih tak pernah lupa derita akibat kebakaran Pasar Gede Hardjonagoro di Solo pada April 2000. Saat itu, kios mertua yang dikelolanya hangus terbakar. Semua pakaian yang menjadi barang dagangannya hangus jadi abu.
Esti dan ratusan pedagang Pasar Gede Hardjonagoro terpaksa menyambung hidup di pasar darurat. Saat itulah dia diajak mengikuti sebuah pelatihan di Tawangmangu, Karanganyar. Pelatihan itu digelar oleh Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) serta beberapa lembaga swadaya masyarakat lain. "Waktu itu pesertanya sekitar 25 orang," kata Esti kepada Tempo.
Mereka adalah para perempuan yang tengah mengalami kesulitan, terutama dalam bidang ekonomi. Bentuk pelatihan yang diperoleh adalah kewirausaaan, manajemen, hingga pemasaran. Jumlah peserta yang tak banyak membuat mereka memiliki ikatan erat. Para perempuan itu terus menjalin komunikasi usai mengikuti pelatihan.
Sebanyak 25 perserta pelatihan tadi lantas membentuk jejaring yang semakin luas. Mereka mengajak perempuan lain di sekitarnya untuk membuat usaha kecil. "Kebanyakan memang pemula," kata peraih ASEAN Development Citra Award 2013-2014 dari Aszam Programme Consultant ini. Selama 16 tahun, mereka berhasil merintis 16 kelompok perempuan usaha kecil di lima kecamatan di Surakarta. Total anggotanya kini mencapai 420 orang.
Masing-masing anggota didorong untuk membentuk usaha sendiri. Mereka sengaja tidak membentuk kelompok usaha bersama agar kemandirian para anggota bisa tumbuh. "Kebanyakan mereka membuat usaha di bidang makanan dan pakaian," ujar Esti.
Jaringan yang cukup solid dalam jumlah banyak menjadi pasar tersendiri bagi usaha yang dirintis oleh anggotanya. Mereka kadang juga mengikuti pameran bersama untuk memasarkan produknya. "Kami pernah mengikuti Inacraft, sebuah pameran yang cukup bergengsi," kata Esti. Secara periodik, mereka juga menggelar pameran di tingkat lokal.
Bagi Esti, membangun sebuah komunitas perempuan usaha kecil memang tidak terlalu sulit. Salah satu masalah yang masih dihadapi adalah pengakuan dari masyarakat dan pemerintah terhadap eksistensi perempuan, terutama di bidang ekonomi. "Selama ini perempuan masih dipandang identik dengan dapur, kasur dan sumur," katanya. Padahal, jaringan tersebut sudah membuktikan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam urusan kesejahteraan masyarakat.
Pengakuan mengenai kemandirian perempuan juga masih sulit diperoleh dari pihak swasta. Dalam memperoleh kredit perbankan, misalnya, mereka masih harus melampirkan bukti persetujuan suami. Tak tingagl diam, akhirnya jaringan yang dikomandoi Esti ini membangun lembaga permodalan sendiri. "Kami membentuk Lembaga Keuangan Perempuan (LKP) sebagai sumber modal alternatif," kata Esti. "Meski masih embrio, ke depannya akan kami kelola dengan lebih baik dan profesional."
AHMAD RAFIQ
Berita lainnya:
Mengenal Sepatu Jinjit yang Nyaman Dipakai
Ayo Berwirausaha dan Nikmati 8 Keuntungannya
Warna Pakaian Dalam yang Bawa Keberuntungan pada 2017