TEMPO.CO, Jakarta - Belasan wanita muda dan paruh baya hiruk-pikuk di beranda gedung bekas kantor Wali Jorong Pamasihan, di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Pada Jumat siang, 16 Desember 2016, perempuan Kampung Pamasihan ini sibuk membuat pewarna untuk benang songket.
Daun nangka dicincang, lantas direbus, untuk memperoleh warna kuning tua. Warna kuning terang didapatkan dari daun dan batang gelinggang laut yang direbus. Mereka juga menanam pohon indigo—penghasil warna biru—di halaman depan dan samping gedung.
“Kami mencari sendiri bahan-bahan yang cocok untuk pewarna," Fitri Yunani, Ketua Perempuan Keramat Sakti, bercerita kepada Tempo. Menurut Fitri, daun gelinggang laut, yang biasanya untuk mengobati kudis, ternyata penghasil warna kuning cerah.
Perempuan Keramat Sakti adalah komunitas kaum Hawa penenun songket di Kampung Pamasihan. Keramat Sakti diambil dari nama dusun di Jorong Pamasihan, Nagari (setingkat desa) Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara. Kampung ini berjarak sekitar 26 kilometer dari Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah Datar.
Sejak kelompok penenun Perempuan Keramat Sakti didirikan, tiga tahun lalu, Fitri didapuk menjadi ketua. Wanita berusia 30 tahun itu belajar menenun sejak kelas IV sekolah dasar. Ia diajari kakak perempuannya, yang juga seorang penenun. Setamat SD, Fitri tidak melanjutkan sekolah lebih tinggi karena orang tuanya tak sanggup membiayai.
Ia sempat dititipkan ke panti asuhan di Tanjung Bonai agar bisa meneruskan sekolah. Tapi hal itu hanya berlangsung sebulan. Alasannya, ongkos untuk pulang naik ojek dari Tanjung Bonai ke Jorong Pamasihan mahal. “Saya pun berhenti sekolah dan mulai menjadi penenun songket bersama kakak,” kata Fitri.
Fitri menularkan ilmu membikin songket kepada sejumlah remaja putri, yang membantunya menenun. Kehidupan warga di kampung Fitri memang susah. Banyak perempuan bekerja di ladang memungut getah karet. “Untuk menambah pendapatan, mereka menenun kain pada malam hari,” kata Fitri.
Menenun selembar kain songket—terdiri atas sarung dan selendang—perlu waktu sekitar sebulan. Hasilnya dibeli pengumpul di Halaban seharga Rp 1 juta. Padahal modal yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku sekitar Rp 400 ribu. “Belum lagi upah untuk anak dan ongkos ojek bolak-balik ke Halaban,” kata Fitri.
Puncaknya saat gempa di Sumatera Barat pada 2009, harga bahan baku tenun melonjak. Modal selembar songket naik menjadi Rp 600 ribu. Sebaliknya, harga jual tak beranjak naik. Walhasil tak ada keuntungan bagi Fitri.
Harapan muncul pada pertengahan 2013. Sebuah lembaga swadaya masyarakat perempuan dari Padang, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), datang ke Kampung Pamasihan. Mereka membantu mengembangkan tenun dengan pewarna alami. Fitri dan teman-temannya kembali bergairah mewarnai benang songket menggunakan zat warna alami. Selain ramah lingkungan, produk jenis ini bernilai seni dan memiliki warna yang khas. Kesan etnik dan eksklusif itulah yang mendongkrak harga songket bikinan Fitri dan kawan-kawan.
Pada 28 Juni 2013, para perempuan penenun Kampung Pamasihan membentuk komunitas Perempuan Keramat Sakti. Awalnya, komunitas ini beranggotakan 12 orang saja, plus Fitri sebagai ketua. “Fitri dipilih karena paling menonjol, dan terbukti memang bisa memimpin. Sekarang pintar bicara dan kritis, dulu masih malu-malu,” kata Ketua LP2M Ramadhani.
Sekarang ada 31 orang yang bergabung di komunitas, satu di antaranya remaja pria. Beberapa yang lain telah menyatakan minat. Maka Fitri berencana membentuk kelompok tenun pria pada Januari tahun depan. “Sudah ada 10 orang yang tertarik.”
Fitri, yang dulu menjaga warung di rumahnya, kini sibuk mengajar dan mengikuti berbagai pelatihan. Ia melatih setiap anggota baru komunitas soal teknik pewarnaan dengan bahan alami. Kain songket dengan pewarna alami dinilai lebih lembut. “Warnanya juga lebih lembut dan tahan lama,” ujar Fitri.
Harga sepasang kain songket terdongkrak menjadi Rp 2,6-3,5 juta. Produk tenun tak lagi disetorkan ke pedagang pengumpul di Halaban, melainkan telah menyebar ke penjuru Nusantara lewat berbagai pameran. Pada 28 Oktober lalu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menobatkan Fitri sebagai Pemuda Pelopor Bidang Lingkungan Hidup.
FITRI YUNANI
Tempat/tanggal lahir: Pamasihan, 05 Desember 1986
Pendidikan: SD (sempat sebulan di SMP)
Jumlah anak: 2 (dua)
Penghargaan:
- Pemuda Pelopor Bidang Lingkungan Hidup Sumatera Barat
- Pemuda Pelopor Tingkat Kabupaten Tanah Datar
FEBRIANTI (PADANG)
Berita lainnya:
Stres, Dengarkan 10 Lagu Penghilang Cemas
8 Tren Kecantikan yang Semakin Digemari di 2017
Daftar Gaun Termahal Kate Middleton Sepanjang 2016