TEMPO.CO, Solo - Beban 95 kilogram di gelanggang angkat berat Paralympic Games 2016 Rio de Janeiro, Brasil, awal bulan ini membawa perunggu untuk Indonesia. Ni Nengah Widiasih yang mempersembahkan medali itu.
Ribuan kilometer dari Brasil, di Banjar Bukit, Desa Sukadana, Bali, tangis haru keluarga Widiasih pecah bersamaan ketika menyaksikan keberhasilan Widiasih lewat siaran televisi. Keluarga yang tinggal di daerah tandus itu harus begadang semalaman demi menyaksikan aksi anak perempuan satu-satunya itu menjelang subuh.
"Itu pertama kalinya keluarga nonton bareng pertandingan saya," kata Widiasih saat ditemui di Solo, Jawa Tengah. Maklum, Paralympic merupakan pesta olahraga besar setara Olimpiade. Event itu menjadi panggung terbesar yang dia ikuti sepanjang kariernya sebagai atlet angkat berat. Selama ini, dia menyampaikan keberhasilannya meraih medali hanya melalui telepon.
Ni Nengah Widiasih lahir 24 tahun silam di sebuah banjar yang terletak di kaki Gunung Agung. Di desanya yang tiris air itu, orang tua Widiasih mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berladang. Saat berusia tiga tahun, Widiasih sakit panas tinggi. Anak kedua dari empat bersaudara itu terkena polio, yang menyebabkan kakinya tidak bisa berfungsi normal. Sejak itu, dia harus hidup dengan kursi roda.
Kondisi tersebut membuat orang tuanya menyekolahkan Widiasih ke Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jimbaran di Bali. Di tempat itulah dia bisa belajar bersama anak difabel lainnya. Di masa awal pendidikannya, Widiasih lebih sering mengikuti perlombaan cerdas cermat. "Sering diminta mewakili YPAC," katanya.
Kakak sulungnya, I Gede Suantaka, yang mendorongnya ikut kejuaraan nasional angkat berat, saat Bali menjadi tuan rumah kejuaraan tersebut, sepuluh tahun silam. "Kebetulan kakak saya memang atlet angkat berat," ujar dia. Usia Widiasih dengan Suantaka hanya terpaut dua tahun. Dia salah satu sosok yang kerap memberikan semangat dan bimbingan kepada Widiasih untuk berlatih angkat berat.
Latihannya untuk mengikuti kejurnas itu cukup singkat. "Sekitar dua-tiga bulan," katanya. Tapi latihan intensif tersebut membuatnya mendulang medali emas. Keberhasilan itu lantas melecut semangatnya. Apalagi, kakak dan teman-temannya selalu mendampinginya berlatih. Setahun sesudahnya, dia resmi masuk ke pusat pelatihan nasional.
Terkilir, salah urat, otot sobek, hingga tulang selangka yang meleset menjadi bagian dari hari-harinya. Tapi dia pantang mundur. "Hanya butuh perawatan dan istirahat dua-tiga hari," katanya. Setelah itu, dia kembali berlatih dengan porsi normal. Latihan paling berat dilakoninya menjelang ASEAN Paragames 2011 di Solo, Jawa Tengah. Saat itu, Widiasih duduk di bangku sekolah menengah atas di Bali.
Proses latihan membuatnya harus sering meninggalkan kelas. Bahkan, dia pernah absen sekolah hampir setahun. Saat mengerjakan tugas dan ujian, dia mengandalkan jaringan pertemanan. "Tinggal nyontek punya teman yang sudah dikerjakan lebih awal," katanya, tertawa.
Perunggu yang diperolehnya di Rio tidak membuatnya puas. Dia masih membidik medali-medali lain di pertandingan angkat berat. Bonus uang, seperti yang dia terima dari pemerintah saat menang di Paralympic, juga menjadi incarannya. "Ngumpul-ngumpulin modal," katanya. Widiasih bermimpi memiliki sebuah gym di Bali. Dia ingin mendedikasikan pusat kebugaran itu untuk sesama penyandang disabilitas.
NI NENGAH WIDIASIH
Lahir: 12 Desember 1992
Alamat: Banjar Bukit, Desa Sukadana, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali
Pendidikan:
1. SD YPAC Jimbaran Bali
2. SMP YPAC Jimbaran Bali
3. SMA Dwijendra Nusa Dua
Prestasi, diantaranya:
1. Emas Kejurnas di Bali, 2006
2. Perunggu ASEAN Paragame, Thailand, 2008
3. Perak ASEAN Paragames di Malaysia, 2009
4. Emas ASEAN Paragames, Solo, 2011
5. Perak Asia Open di Malaysia, 2013
6. Emas ASEAN Paragames, Myanmar, 2013
7. Perunggu Paralympic Games, Brasil, 2016
AHMAD RAFIQ (SOLO) | AISHA SHAIDRA
Berita lainnya:
Ketika Whistlist Jadi Bumerang, Hati-hati!
Kiat Mengatur Belanja Bulanan Agar Tepat dan Hemat
Jenis Aktivitas Ringan dan Makanan buat Kamu yang Diet