TEMPO.CO, Jakarta - Tidak ada yang salah, jika si buyung memainkan peralatan memasak, atau si upik yang asyik bermain mobil-mobilan.
Hindari stereotipe
Ya, banyak orang tua cenderung panik bila melihat putra-putrinya memainkan mainan yang “tidak sesuai” jenis kelaminnya. “Hal ini bisa dipahami karena adanya stereotipe pada masyarakat. Laki-laki harus jantan dan perempuan harus halus dan gemulai. Atas stereotipe inilah maka sejak kecil orangtua berusaha mendandani putra-putrinya sesuai dengan norma yang berlaku. Seperti warna pink untuk perempuan, dan warna biru untuk laki-laki,” buka Darjanti Kalpita, psikolog klinis anak.
Jadi, bila melihat ada laki-laki dewasa mengenakan kemeja bernuansa pink langsung dianggap aneh. “Stereotipe yang justru akan menghambat perkembangan anak-anak secara optimal,” ujar Darjanti.
Darjanti menuturkan, orang tua tidak perlu panik asalkan sejak dini telah memberikan bimbingan pada putra-putrinya tentang peran jenis kelaminnya. Umumnya, sekitar usia 5 tahun, seorang anak sudah memahami jenis kelaminnya. Ini diperoleh melalui proses mengamati orang tua dan orang-orang di sekitarnya, terutama dari segi perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan.
“Untuk menegaskan perbedaan jenis kelaminnya, ibu bisa mengatakan pada anak perempuannya saat mengenakan gaun, 'Aduh, cantiknya anak ibu kalau pakai gaun', atau pada anak laki-laki, 'Kamu ganteng, ya kalau pakai kemeja dan celana panjang itu',” Darjanti mencontohkan.
Jangan panik, tetap tenang, arahkan yang benar
Selain mengajarkan dan memberikan bimbingan mengenai perbedaan jenis kelamin, orang tua sebaiknya mengimbanginya dengan membimbing mengenai peran jenisnya. Misalnya, ketika bermain bersama. Saat anak perempun menggendong boneka, ibu bisa mengatakan, 'Kelak kamu juga akan menjadi ibu, merawat anakmu, seperti ibu merawatmu'.
Atau saat anak laki-laki menggendong boneka, ibu tidak perlu panik. Tapi, sebaiknya bimbing dia dengan mengatakan, 'Aduh, anak ibu kalau sudah besar pasti nanti jadi ayah yang hebat, bisa menjaga anak-anaknya, seperti ayah menjagamu'.
“Sehingga kelak si anak laki-laki juga akan peduli dengan pengasuhan anak-anaknya. Tidak mengikuti stereotipe bahwa laki-laki tabu mengurusi hal-hal domestik, yang termasuk di dalamnya adalah mengasuh anak,” papar Darjanti.
Satu hal yang perlu dipahami, bahwa dalam mendidik anak, mengajarkan perbedaan jenis kelamin juga harus dibarengi dengan pengajaran tentang peran jenis kelaminnya. Karenanya, sekalipun ada laki-laki yang kemayu, itu tidak identik bahwa dia tidak bisa melakukan peran jenis kelaminnya sebagai laki-laki. Kemayu bukannya tidak bisa mengambil keputusan, memperhitungkan risiko, atau bertanggung jawab.
“Bisa saja dia bersikap kemayu karena berada di lingkungan yang menuntutnya berpenampilan luwes, misal sebagai chef atau artis. Sebaliknya, perempuan tomboi, bukannya tidak bisa melahirkan, menyusui, dan merawat anaknya. Bisa saja dia bersikap tomboi karena tuntutan pekerjaan, misal sebagai insinyur atau pembalap,” pungkas Darjanti. Jadi, jangan tergesa-gesa panik, ibu.
Berita lainnya:
Bersihkan Mainan Anak agar Tidak Jadi Sarang Kuman
Tip Memilih Mainan Anak
Tak Sekadar Bermain, Sesuaikan Mainan dengan Usia Anak