TEMPO.CO, Jakarta - Nama kedai kopi di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, itu cukup asyik: Fakultas Kopi. “(Nama) ini lucu dan pas dengan tujuan, yaitu supaya orang tahu soal kopi,” kata Aljunishar, 35 tahun, saat ditemui pada Selasa, 19 Juli 2016. Pria yang akrab disapa Agam ini ingin pengunjung kedainya paham tentang minuman itu, selain mencecap nikmatnya kopi tanah leluhur.
Nah, misi berbagi pengetahuan tentang kopi itu dia wujudkan dalam dekorasi lusinan papan tulis sarat informasi soal kopi. Di sana, ada tulisan mengenai sejarah kopi Gayo, jenis-jenis olahan kopi, dan negara-negara utama penghasil kopi. “Selama ini kan orang datang asal ngopi saja,” kata Agam.
Baca Juga:
Suasana Fakultas Kopi
Fakultas Kopi memeriahkan dunia kuliner Jakarta dalam 4 bulan terakhir. Setahun lalu, Agam sudah membuka gerai pertamanya di Medan. Karena dirasa sukses, ia melebarkan petualangan kopinya ke Ibu Kota. “Saya ingin membuat kopi Indonesia menjadi tuan rumah di negara sendiri,” ujarnya, bertekad.
Sebagai orang asli Aceh, Agam menggunakan biji kopi arabika tipika asli dari kebunnya sendiri di Takengon, Aceh Tengah. “Di sini kami sajikan dua jenis kopi. Ada kopi Gayo yang berjenis arabika dan Ule Kareeng yang robusta,” katanya. Menu kopi Gayo disajikan bervariasi, mulai espresso hingga latte Gayo. Sementara itu, Ule Kareeng dihidangkan dengan dua pilihan, yakni kopi hitam dan aneka macam sanger—kopi khas Aceh dengan komposisi espresso dan susu kental manis.
Berbekal pengalaman pernah mencicipi sanger, saya memilih empat jenis menu tersebut. Di deretan arabika, ada sanger Gayo. Lalu, di barisan Ule Kareeng, ada sanger, sanger mini, dan sanger oreo. Sanger mini lebih pekat dan lebih pahit ketimbang Sanger. Kenapa? Karena komposisi susu yang digunakan lebih sedikit.
Kopi Aceh Sanger Oreo di Fakultas Kopi, Jalan Hangkelkir, Jakarta.
Sementara itu, sanger Gayo berwarna lebih pekat dan lebih pahit ketimbang sanger mini. Soal selera, sanger Gayo juaranya. Minuman ini terasa nikmat dicecap bersama kue pulut-timpan yang terbuat dari ketan dengan isian srikaya. Dengan edamame rebus pun, kopi ini tak kalah nikmat.
Karena mengusung konsep kedai untuk minum kopi, tak banyak menu makan berat yang ditawarkan. “Ini kedai buat ngopi, bukan rumah makan,” kata Agam. Dari daftar yang tersedia, menu Indomie tradisi dan ikan asam pedas sepertinya layak dicoba. Tentu semua disajikan dengan bumbu khas Aceh.
Menu mi instan Indomie Tradisi di Fakultas Kopi, Jalan Hangkelkir, Jakarta.
Indomie Tradisi adalah mi instan yang disiram dengan kuah kental merah gurih, sedikit asam, dan pedas. Kuah ikan yang dibuat dari akar manis dan jinten itu pas disantap saat tubuh kedinginan karena hujan. Hmm…
Meski mengklaim menggunakan biji kopi terbaik di dunia, harga per cangkirnya masih terjangkau, yakni hanya Rp 10–35 ribu. “Kami memakai kopi dari kebun sendiri, makanya enggak mahal,” tutur Agam. Untuk camilan, pelanggan cukup menebusnya dengan harga Rp 10–20 ribu.
Meski murah, bukan berarti semua dibikin asal-asalan. Barista di Fakultas Kopi dididik tak sekadar menjadi penyeduh, tapi betul-betul memahami dengan pemrosesan yang benar.
Kopi aceh Sanger dan Sanger Mini di Fakultas Kopi, Jalan Hangkelkir, Jakarta.
Setelah 4 bulan beroperasi, nama Fakultas Kopi rupanya sudah terdengar di kalangan perantauan Aceh. Pantas, sejak membuka pintu kafé, saya mendengar dialek Aceh berkumandang dari kumpulan orang-orang yang sedang bercengkerama. Agam pun punya impian, “Saya berharap, Fakultas Kopi betul-betul menjadi tujuan orang untuk minum kopi, bukan sekadar meeting point ketika kepepet tak punya pilihan.”
DINI PRAMITA
Melukis di Atas Kopi
Berita lainnya:
Tip Aman Main Pokemon Go Saat Bekerja
Jengkel dengan Gigitan Nyamuk, Hindari dengan Cara Berikut
Makanan Bayi Buatan Sendiri Belum Tentu Lebih Baik dari Pabrikan