TEMPO.CO, Jakarta - Bicara soal kuliner Yogyakarta lebih pas bicara gudeg. Lini massa pecinta gudeg kehilangan sosok Mbah Lindu, 97 tahun, yang berjualan gudeg sejak 1942 dengan resep yang sama dari tahun ke tahun. Baca: Menjajal Gudeg-gudeg Anti-Mainstream di Kota Yogyakarta
Gudeg yang disajikan Mbah Lindu adalah gambaran gudeg autentik. Sajian sayur nangka manis gurih berwarna cokelat dengan lauk ayam, tahu, dan tempe, dipadukan dengan sambal krecek (kerupuk kulit sapi) pedas. Ahli gastronomi dan kuliner tradisional, Murdijati Gardjito, mengatakan gudeg adalah makanan rakyat.
“Sangat luwes karena berbekal Rp 5.000 sudah bisa makan kenyang nasi dan sayur gudeg. Kalau punya uang lebih bisa nambah tahu. Ada lebih lagi bisa nambah telur separuh, kalau mampu bisa tambah lagi lauk ayam,” kata dia.
Disebut makanan rakyat juga karena pada awalnya gudeg adalah makanan para prajurit. Murdijati mengisahkan gudeg bermula dari pembukaan hutan bering oleh Hameng Kubuwana I saat akan bertakhta di Yogyakarta. Hutan tersebut ditumbuhi tanaman nangka dan kelapa dalam jumlah banyak. Sehingga para prajurit berinisiatif memasaknya dalam kuali yang sangat besar. “Sebab jumlah prajuritnya ratusan,” kata dia.
Saat itu, kata dia, saking besarnya kuali yang digunakan dan banyaknya nangka yang dimasak, dibutuhkan pengaduk super besar seperti gayung kapal. “Proses mengaduknya ini dinamakan hangudeg, ini cikal bakal nama gudeg,” kata dia. Kemudian, kata dia, para prajurit menemukan citarasa yang semakin mantap ketika masakan ini terus dipanaskan, terus diudeg agar tidak gosong. “Karena terus diudeg jadilah namanya gudeg,” kata dia.
Murdijati mengatakan gudeg disebutkan pula dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1819-1823. Di situ gudeg disebut sebagai makanan rakyat di Jawa. Murdijati menuturkan gudeg menyebar ke sekitar Yogyakarta saat prajurit Mataram berjalan menuju Batavia. “Saat geger VOC, mereka memasak gudeg dari nangka yang tumbuh di sepanjang jalan,” kata dia.
Saat ini, gudeg makin bervariasi. Salah satu yang terkenal adalah gudeg mercon super pedas yang jauh dari citra legit. Salah satu yang populer adalah Gudeg Mercon Bu Tinah. Tak seperti warung kebanyakan, tempat gudeg ini mirip gubuk di pinggir sawah. Bila libur Lebaran tiba, gudeg ini habis sebelum jam 13.00 saking ramai diserbu pembeli.
Persis seperti namanya, gudeg ini punya rasa yang membakar lidah. “Kami mencari rasa gudeg yang berbeda dari kebanyakan gudeg. Berawal dari coba-coba,” kata Parni, peracik gudeg mercon Bu Tinah.
Gudeg ini berbahan baku nangka muda atau gori dalam bahasa Jawa. Hanya saja, ditambahkan campuran kuah sangat pedas dan gurih dengan irisan cabai rawit bercampur biji-biji cabai terlihat jelas. Tentu saja ada potongan krecek dengan sentuhan petai disajikan di atas nasi hangat.
Ngatinah menciptakan rasa pedas karena jenuh dengan rasa manis yang umum pada gudeg. Setiap kali memasak gudeg, Ngatinah menyiapkan lima kilogram cabai rawit bersama sepuluh kilogram nangka muda. Rasa pedas itulah yang membuat gudeg ini menjadi populer.
Sensasi gudeg berbeda juga dapat dirasakan di Gudeg Mangut Mbah Marto. Rasa gudegnya manis-gurih seperti gudeg pada umumnya. Hanya saja, Mbah Marto menambahkan mangut lele yang rasa pedasnya ekstrem. Ada juga variasi lauk lainnya, seperti opor ayam atau garang asem. Semua menu tersebut dihidangkan di atas amben (balai-balai) bambu yang berada di dapur.
Inovasi gudeg lebih mutakhir dihadirkan oleh Gudeg Bu Tjitro yang bekerja sama dengan Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mengolah gudeg dalam kaleng. Hasilnya adalah gudeg kaleng yang awet disimpan dalam kaleng dan higienis. “Kami menggunakan teknologi hampa udara dengan sterilisasi suhu 121 derajat Celsius dan tekanan dua atmosfer sehingga bakteri mati,” kata Pemimpin Produksi Gudeg Kaleng Bu Tjitro 1925, Jumirin.
Gudeg kaleng mulai diproduksi pada 2011. Sejak itu, permintaan terus meningkat sehingga pengelola mesti menambah mesin-mesin produksi untuk pengalengan di Jalan Solo, Yogyakarta, pada 2016. Saat ini, rata-rata 15 ribu kaleng terjual per bulannya.
Gudeg Bu Tjitro meraup manisnya bisnis gudeg kaleng saat libur Lebaran ini. Sebanyak 1.699 kaleng ludes. Kebanyakan membawanya sebagai buah tangan. Berkat kemasan yang praktis, gudeg ini sudah melancong hingga Inggris, Belanda, dan Australia.
SHINTA MAHARANI | DINI PRAMITA