TEMPO.CO, Jakarta - Istilah kelirumologi, alasanologi, humorologi, menjadi beberapa istilah yang sangat akrab dengan Jaya Suprana. Pendiri Rekor MURI ini rupanya ingin menempatkan kembali secara jernih hal-hal praktis yang sering salah persepsi.
Salah satu fenomena yang menurutnya perlu mendapat perhatian ialah terkikisnya rasa malu bangsa Indonesia. Jaya berinisiatif merilis buku Malumologi sebagai sebuah telaah terhadap fenomena rasa malu.(baca :Membedah Kegunaan Superfood Biji Chia dan Daun Kelor)
Jaya menjelaskan malumologi merupakan telaah mengenai fenomena rasa malu yang ternyata memiliki peran sangat penting dalam membentuk etika, moral, akhlak serta budi pekerti manusia. Terkikisnya rasa malu memiliki dampak pada maraknya korupsi, kekerasan, kerakusan, dan banyak kejahatan lainnya.
“Krisis peradaban seperti angkara murka terorisme, korupsi, kerakusan, kekerasan, kebencian yang sedang terjadi di planet bumi masa kini merupakan akibat manusia makin kehilangan rasa malu,” tulisnya.
Jaya menegaskan malumologi bukan ilmu bikin malu tetapi sebuah telaah terhadap fenomena rasa malu. Metode yang dipakai untuk menelaah rasa malu dapat menggunakan ilmu-ilmu yang sudah ada seperti psikologi, sosiologi, biologi hingga filsafat.
Baca Juga:
Melalui malumologi, yang merupakan gabungan dari kata “malu” dan “logos”, Jaya seakan ingin kembali mengajak banyak orang untuk belajar rasa malu. Dalam tradisi pemikiran timur, rasa malu memainkan peran penting sebagai salah satu landasan moralitas hingga tata nilai kehidupan.(Baca :Alasan Gigi Tak Nyaman Setelah Makan Bayam)
Kata “malu” sendiri memiliki beberapa arti seperti merasa sangat tidak enak hati, hina, rendah, dan sebagainya karena berbuat sesuatu yang kurang baik; segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya; kurang senang.
Malumologi nampaknya bukan untuk menonjolkan rasa minder atau rendah diri tetapi lebih ingin mengasah kepekaan dan kerendahan hati.
Dalam salah satu tulisannya, Jaya mengutip puisi Malu Aku jadi Orang Indonesia karya Taufik Ismail, “Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi”.
Kemudian, diakhiri dengan kalimat, “Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata dan kubenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia!”
Jaya Suprana berpendapat dengan mengaku malu, sang penulis puisi yang juga orang Indonesia secara tidak langsung membuktikan bahwa masih ada orang Indonesia yang masih memiliki rasa malu. (baca:Survei: Kakek dan Nenek Selalu Menjadi Andalan Merawat Cucu)