3. Nyi Siti Walidah Ahmad Dahlan
Ia terlahir dari keluarga pemuka Agama Islam dan penghulu resmi Keraton, Kyai Haji Fadhil pada 1872. Siti Walidah mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya yang merupakan pejabat agama di Keraton Yogyakarta. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan umum kecuali pendidikan agama yang didapat dari ayahnya.
Pernikahannya dengan Kyai Ahmad Dahlan dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah membuat dia mempunyai pandangan yang luas. Pada 1914, Siti Walidah turut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta). Dia membuka asrama dan sekolah-sekolah putri serta mengadakan kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Siti Walidah juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita.
4. Dewi Sartika
Di tanah Sunda, ada Dewi Sartika yang terlahir dari keluarga priyayi Nyi Raden Ayu Rajapermas dan Raden Somanagara pada 4 Desember 1884. Nyi Raden Ayu Rajapermas juga dikenal sebagai pahlawan dari Pasundan yang diabadikan sebagai nama jalan.
Tak banyak literatur yang menceritakan tentang perjuangan Nyi Raden Rajapermas. Ibu dari Dewi Sartika ini melanggar adat karena mengizinkan putri mereka mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Nyi Raden Rajapermas juga pernah dibuang Belanda ke Ternate bersama suaminya.
Lantaran pernah belajar di sekolah Belanda, Dewi Sartika juga memiliki wawasan tentang budaya Barat dari nyonya Asisten Residen Belanda. Sejak usia 10 tahun, Dewi Sartika sudah mulai mengajar. Bermodalkan papan bilik kandang, arang, dan pecahan genting sebagai alat bantu belajar, dia mengajarkan anak-anak pembantu untuk bisa baca-tulis, dan belajar bahasa Belanda di lingkungan kepatihan Cicalengka.
Kegigihan Dewi Sartika merintis pendidikan bagi kaum perempuan juga mendapat dukungan dari keluarga, hingga akhirnya berdiri Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda. Sekolah itu beroperasi di ruangan pendopo Kabupaten Bandung pada 16 Januari 1904.
5. H. R Rasuna Said
Di daerah Maninjau, Agam, Sumatra Barat, terdapat seorang penggerak wanita yang berperan dalam bidang pendidikan, pemberdayaan wanita dan jurnalisme nasional. Dialah Hajjah Rangkayo Rasuna Said yang lahir pada 15 September 1910. Namanya kini menjadi nama jalan protokol di Ibu Kota.
Ayah H. R. Rasuna Said adalah seorang saudagar Minang yang juga aktivis pergerakan. H.R Rasuna Said dikenal sebagai sosok yang berkemauan keras dan memiliki pengetahuan luas. Pemikirannya kritis, pidato dan tulisannya tajam, bersifat anti-kolonialisme. Dia juga memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Di masa kecilnya, H. R. Rasuna Said menjadi satu-satunya santri perempuan. Perjuangan membela kaum perempuan tak hanya dia wujudkan dengan mengajar di Diniyah Putri tapi juga melalui jalur politik dengan bergabung di Sarekat Rakyat dan Persatuan Muslimin Indonesia.
H. R. Rasuna Said menjadi wanita pertama yang menjalani hukuman penjara karena dijerat Speek Delict pada 1932. Speek Delict merupakan delik hukum pemerintahan Belanda yang isinya menjerat mereka yang berbicara menentang Belanda.
DINA ANDRIANI