Gangguan ini terjadi ketika anak berusia 2 tahun belum mampu mengucapkan sepatah atau beberapa kata. Kemudian memasuki 3 tahun, mereka belum bisa mengucapkan kata majemuk sederhana. Mereka sulit memilih kata yang tepat, suka memendekkan ucapan yang panjang, dan sering melakukan kesalahan kalimat - misalnya kehilangan awalan atau akhiran – juga salah menggunakan tata bahasa.
Menurut Gitayanti, gangguan berbahasa ekspresif adalah salah satu pemicu tantrum. Karena tidak bisa menyampaikan emosi lewat kata-kata, anak meluapkannya dengan menangis dan melancarkan tantrum. “Jika berlanjut hingga usia sekolah, dapat menghambat kegiatan akademis anak,” Gitayanti memperingatkan.
“Gangguan ini menyebabkan anak sulit memahami bahasa dan makna kata-kata. Umumnya disertai gangguan berbahasa ekspresif dan gangguan artikulasi,” jelas Gitayanti. Ini terjadi ketika anak berusia 1 tahun tidak merespons, saat ditunjukkan sebuah benda atau gambar. Di usia 18 bulan, mereka tidak mampu mengidentifikasi objek sederhana, misalnya menyebut kata “bola”. Anak juga tidak bisa mengikuti instruksi sederhana, misalnya tidak merespons ketika ditanya, “Mana matanya?”
Memasuki usia 2 tahun, anak sulit memahami struktur tata bahasa, seperti kalimat negatif, pertanyaan, dan perbandingan. Anak juga kurang paham aspek kehalusan bahasa seperti nada suara, intonasi, dan bahasa tubuh.
Keterlambatan bicara bisa disebabkan faktor genetik, gangguan pada pusat bahasa di otak, perubahan gen, dan kurangnya stimulasi dari orang tua. Untuk itu, Gitayanti menyarankan agar orang tua memberikan stimulasi bahasa kepada anak sedini mungkin.
“Sejak janin berusia 7 bulan, mereka sudah mulai bisa mengenali bahasa orang tua. Teruslah mengajak anak bicara. Jadilah teman main untuk anak. Ingat, bermain bersama anak, bukan menemani anak bermain!” ujar Gitayanti.
Ketika anak menginjak usia 3 tahun, stimulasi harus semakin intensif. Anak harus semakin banyak diajak bermain dan bicara. “Bermain pura-pura, misalnya bermain masak-masakan, salah satu cara terbaik untuk memberikan stimulasi kepada anak,” ujar Gitayanti. Jika anak telanjur mengalami gangguan keterlambatan bicara, Gitayanti menyarankan orang tua melakukan terapi wicara.
Yang perlu diwaspadai, keterlambatan bicara bisa jadi merupakan bagian dari gangguan lain yang lebih berat seperti autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (dikenal dengan istilah ADHD - attention deficit hyperactivity disorder), hingga retardasi mental dan disabilitas intelektual (IQ di bawah rata-rata). Jika sudah menyangkut gangguan yang lebih serius, penanganannya pun harus lebih serius. Medikasi dan konsultasi dengan psikiater sangat disarankan.
TABLOIDBINTANG
Berita lainnya:
Tip Bila Si Kecil Tantrum
Koleksi Busana Desainer Lokal Hadir di Galeries Lafayette
Risiko Jika Anak Sarapan yang Itu-itu Saja