TEMPO.CO, Jakarta - Operasi plastik adalah fenomena yang semakin naik daun belakangan ini. Sejak dulu, tindakan mengubah sebagian atau seluruh penampilan fisik sudah dilakukan banyak orang. Bedanya, para pelakunya kini tidak lagi malu-malu mengakui melakukan sesuatu pada penampilannya.
“Ukurannya bukan boleh atau tidak boleh karena jika muncul pertanyaan itu, jawabannya akan sangat subyektif. Semua kembali kepada aturan pribadi,” ujar Anggia Chrisanti, konselor dan terapis Deep Psych Tapping Technique (DEPTH.) “Kecuali jika operasi plastik dilakukan terkait untuk memperbaiki yang rusak, misanyal bekas kecelakaan, kebakaran, tersiram minyak panas, atau cacat bawaan seperti bibir sumbing."
Baca juga:
Menurut Anggia, operasi plastik bisa saja dilakukan dengan syarat adanya kerusakan, sedangkan sekarang yang terjadi orang-orang banyak melakukan pembenaran. Misalnya dengan menyebut hidungnya rusak, padahal maksudnya pesek. Dagunya rusak, padahal maksudnya tidak lancip.
Pipi saya rusak, padahal maksudnya tembam atau tidak tirus. Mata saya rusak, padahal maksudnya tidak berkelopak besar. “Maka sekali lagi, norma boleh atau tidak dikembalikan kepada masing-masing, termasuk dianggap dosa atau tidak, kembali kepada pembenaran masing-masing,” ujar Anggia.
Apalagi jika kemudian muncul alasan “demi menyenangkan suami”, seakan-akan operasi plastik menjadi boleh, sah, dan tidak dosa, dan seolah bernilai ibadah. Operasi plastik di sini adalah alasan selain perbaikan yang sesungguhnya, karena kecelakaan atau cacat bawaan, perubahan yang tidak melulu dilakukan di meja bedah.
Termasuk di sini adalah mereka yang melakukan sulam alis, memakai lensa kontak berwarna, aneka suntikan (botoks, pemutih, silikon), dan sebagainya. “Mengubah sebagian atau seluruhnya, tanpa adanya kerusakan yang sesungguhnya, secara psikologis ada beberapa hal yang bisa melatarbelakangi,” kata Anggia.
#Tidak atau kurang rasa percaya diri
Biasanya orang-orang yang melakukan perubahan-perubahan ini pada dasarnya tidak atau kurang memiliki rasa percaya diri. Mereka menganggap diri tidak lebih baik atau justru lebih buruk dibandingkan orang lain. Perasaan ini biasanya hasil pembentukan lingkungan, terutama dalam citra tubuh dan diri. Biasanya pula karena sering dibanding-bandingkan, terutama dengan saudara atau orang tua.
#Penolakan
Hati-hati, rasa penolakan banyak juga terjadi pada orang-orang yang ketika masih dalam kandungan tidak atau kurang diharapkan oleh orang tuanya sehingga tanpa disadari membentuk pribadi yang tertolak. Lagi-lagi, kemudian mereka merasa keberadaan mereka tidak tepat atau tidak diharapkan, termasuk secara fisik. Walaupun setelah lahir dan tumbuh tidak ada lagi penolakan itu, tetap saja rasa itu telanjur ada. Maka, tanpa disadari pula, individu ini bahkan menolak keberadaan diri dan atau menolak keberadaan bentuk asli.
#Tuntutan tinggi
Adanya tuntutan yang terlalu tinggi dari lingkungan, keluarga, atau orang tua akan kesempurnaan. Mereka hanya mau menerima hal-hal yang baik saja sehingga anak merasa tidak pernah diterima apa adanya. Maka, mereka akan mudah melakukan perubahan-perubahan pada diri agar tuntutan itu tercapai dan terpenuhi dengan alasan ingin diterima. Menurut mereka, dengan bentuk baru, mereka akan lebih diterima oleh keluarga, orang tua, teman, kekasih, suami, lingkungan masyarakat, dan lain-lain, karena telah memenuhi tuntutan itu.
#Tidak atau kurang bersyukur
Tentu melakukan perubahan-perubahan itu, baik operasi plastik seluruhnya atau hanya permak sana-sini, tidak mudah, tidak murah, dan cenderung berisiko, terutama bagi kesehatan namun, tetap saja ditempuh karena terlalu bersikeras ingin berubah. Mengapa tidak menerima saja apa yang sudah diberikan? Sekali lagi, ini bukan kasus cacat bawaan atau bekas kecelakaan.
Sesuatu yang kita anggap kurang, apalagi rusak, itu adalah yang paling sempurna dari Tuhan. Kita berbeda antara satu dengan yang lain karena memang tidak ada yang sama. Inilah diri kita, wajah kita, tubuh kita, dengan porsi dan takarannya masing-masing. Bersyukur karena ada banyak yang tidak seberuntung kita. Menerima, menjaga, merawatnya, itu tugas utama tanpa harus mengubahnya.
Jika perubahan yang dilakukan atas standar cantik keseragaman yang diciptakan dunia periklanan, yakni cantik, tinggi, putih, wajah tirus, kelopak besar, hidung mancung, dagu lancip, akibatnya orang tersebut hanya akan menjadi sama, seperti boneka. Lantas, apa saja yang akan hilang dari diri kita? Anggia menyebut 3 hal utama.
1. Hilangnya sisi humanis
Ada hal-hal kekurangan dalam diri atau fisik yang justru di situlah letak humanisnya. Inilah yang akan membedakan si A dengan si B atau si C dengan yang lainnya.
2. Bersiap dengan risiko respon negatif
Terhadap sebuah perubahan, selalu ada dua kemungkinan, tanggapan positif atau negatif. Menempuh operasi plastik berarti tidak hanya harus siap menerima pujian, tapi juga cibiran atau bahkan hinaan. Harapan menjadi lebih diterima jauh dari kenyataan.
3. Menjadi sosok yang asing di mata orang-orang terdekat
Pikirkanlah anak, orang tua, pasangan, teman-teman dekat. Mereka akan melihat kita sebagai sosok yang berbeda dan sayangnya tidak dalam arti bagus. Mereka akan merasa asing dengan kita.
TABLOIDBINTANG
Artikel lain:
Kiat Memilih Buku Berdasarkan Usia Anak
Memahami Henti Jantung dan Penyebabnya
Tata Krama yang Wajib Diketahui Mulai Buka Mata sampai Tidur