TEMPO.CO, Jakarta - "Tidak dipukul kok, cuma dijewer atau cuma disentil saja." Alasan seperti ini kerap diungkapkan para orang tua ketika memberikan hukuman fisik kepada anak.
Meskipun tidak menimbulkan luka fisik pada anak, kebiasaan ini bisa mendorong anak menjadi pelaku perisakan (bullying). Sebab, anak mengira menyakiti orang yang lebih kecil dan lemah daripada dia adalah wajar.
Akibatnya, hubungan Anda dengan anak menjadi renggang. Lagi pula, menurut penelitian, semakin tidak harmonis hubungan orang tua dengan anak, semakin besar kecenderungan anak menyakiti pasangannya pada masa depan. Anak juga akan lebih rentan mengalami gangguan mental, seperti depresi, kecemasan, dan kurang berempati pada lingkungan sekitarnya.
Tidak hanya anak, orang tua yang frustrasi, marah, dan merasa lelah juga bisa kehilangan kontrol ketika menghukum anak secara fisik. Sebab, setiap kali anak berbuat salah, Anda langsung memukulnya, dan hal tersebut menimbulkan rasa "lega".
Bayangkan jika rasa "lega" tersebut justru semakin mendorong Anda untuk terus memukulnya dan memukul lebih keras setiap kali anak berbuat salah. Akibatnya, Anda malah menjadi kecanduan untuk terus menghukum anak, bahkan ketika ia hanya melakukan kesalahan kecil.
Agar terhindar dari dampak negatif, sebaiknya Anda memberikan hukuman kepada anak sesuai dengan umurnya. Artinya, jangan menghukum anak melampaui persoalan yang belum ia pahami, misalnya memarahi dan menghukum anak 5 tahun karena tidak hati-hati ketika mengendarai sepeda. Sebab, pada usia tersebut, anak mudah teralihkan dan belum bisa mengontrol diri sepenuhnya.
Selain itu, seperti dikutip dari laman Psychology Today, menghukum secara fisik masih boleh dilakukan pada anak usia 2-6 tahun. Itu pun hanya berupa pukulan ringan di bagian bawah tubuh. Sedangkan anak di atas usia tersebut tidak boleh dihukum secara fisik.
Baca juga:
Yuk, Bikin Kostum Moana untuk Si Kecil
Cara Mudah Turunkan Berat Badan dengan Minyak Kelapa
Undangan Nikah, Natal, dan Tahun Baru, Makeup-nya Bagaimana?