TEMPO.CO, Jakarta - Budaya malu harus ditanamkan sejak dini. Dengan demikian, setelah besar, anak bisa lebih menghargai orang lain. Kita sering berkomentar miring kepada orang atau anak orang lain yang dalam pandangan pribadi melakukan hal-hal yang memalukan, misalnya perempuan yang cara duduknya sembarangan, berkata-kata tidak sopan, dan berpakaian seronok.
Hati-hati, siapa tahu di rumah kita juga mendidik anak menjadi pribadi yang tidak tahu malu. Menurut Anggia Chrisanti, konselor dan terapis dari Biro Psikologi Westaria (@ig-giadc), orang tua sering tanpa sadar membiasakan anak untuk tidak malu. Misalnya, ketika anak masih menyusui, ibu-ibu sering melakukannya “sembarangan”.
“Padahal ibu bisa bilang kepada anak ketika mau menyusui mereka, seperti 'sebentar ya, kita cari dulu tempat biar enggak malu'. Akan lebih baik jika ibu menjelaskan secara lebih spesifik alasannya, seperti ‘nanti dilihatin orang kalau sembarangan’,” kata Anggia.
Hasilnya, walaupun anak masih berusia 5 atau 6 bulan, mereka tidak akan mau menyusu di sembarang tempat. Mereka akan terbiasa pula, misalnya menyusu sambil ditutupi selendang atau kerudung bagi yang berhijab. “Dari segi perkembangan otak, malu merupakan perkembangan otak depan, spiritual, bukan ritual,” ujar Anggia.
“Malu inilah cikal bakal kesalehan, dan saleh pangkal segalanya. Ke depan, akan berhubungan erat dengan bagaimana anak berkepribadian, terkait dengan dirinya sendiri dan juga dengan orang lain,” tuturnya.
Artikel lain:
Cek, Apa Saja Pemicu Sakit Gigi
Deteksi 7 Gangguan Kesehatan dari Feses Bayi
Ayo Rutin Periksa Gigi Agar Kesehatan Mulut Tetap Oke