TEMPO.CO, Jakarta - Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Desintha Dwi Asriani mengatakan cakupan air susu ibu (ASI) eksklusif di Indonesia baru mencapai angka 42 persen. "Ini masih jauh dari harapan," kata Desintha di Kampus Program Doktoral Studi Kebijakan UGM, Yogyakarta, Sabtu, 22 Oktober 2016.
Posisi Anak yang Aman Saat di Mal
Jumlah kelahiran di Indonesia 4,7 juta orang per tahun, sementara itu jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif selama enam bulan bahkan hingga 2 tahun, ternyata tidak mencapai 2 juta jiwa. "Jika dibandingkan dengan target WHO yang mencapai 50 persen, maka angka tersebut masihlah jauh dari target," ujar Deshinta.
Proses menyusui pada akhirnya memposisikan perempuan sebagai objek program besar pemerintah tentang kesejahteraan dan kesehatan. Menurut dia, seharusnya menyusui menjadi hak, bukan kemudian menjadi praktik konstruktif yang diterjemahkan dalam kata kewajiban.
"Ketika ini dipahami sebagai hak dan saat perempuan tersebut tidak bisa menyusui misalnya, maka dia akan mencari cara bagaimana agar bisa mendapatkan haknya untuk menyusui," ujar Desintha. Selain itu, praktik menyusui bukanlah persoalan sederhana, sebab bukan sekadar memberi asupan nutrisi bagi bayi langsung dari payudara ibu.
Desintha menjelaskan, ada banyak hal yang perlu dinegosiasikan terutama bagi perempuan yang bekerja. Di antaranya, pendeknya masa cuti melahirkan, tidak ada sistem cuti menyusui. Ditambah lagi terbatasnya waktu istirahat, tidak ada fasilitas ruang laktasi, tidak punya lemari penyimpan ASI, faktor kelelahan, maupun persoalan kultural, dan malu jika memerah ASI di tempat bekerja.
Berita lainnya:
Yuk, Panas-panas Minum Es Pisang Ijo
Tara Basro Ungkap 2 Bahan Alami Penangkal Panas
Desainer Korea Selatan Lie Sang Bong: Cinta Indonesia