TEMPO.CO, Jakarta - Voluntourism. Istilah ini masih asing di telinga orang Indonesia. Sebagian akan menerka-nerka apa kaitannya dengan pariwisata.
Voluntourism, menurut pelopornya di Indonesia, Nila Tanzil, adalah perkawinan antara volunteer dengan tourism. Kawin silang itu menghasilkan pelesiran yang tak melulu buang-buang uang mengisi waktu senggang. Di sela-sela kegiatan memanjakan diri, turis diajak memanjakan masyarakat lokalnya dengan menjadi relawan.
Dilansir dari www.voluntourism.org, jenis wisata ini mulanya berkembang di Amerika Serikat berkat keberadaan Peace Corps. Lembaga independen Negeri Paman Sam ini rajin mengirimkan relawannya ke negara-negara berkembang. Konsep relawan ala Peace Corps ini lantas dikemas dalam bentuk wisata oleh Earthwatch sekitar 1971.
Meski sudah ada puluhan tahun silam, kata voluntourism baru dipakai Nevada Board of Tourism pada 1998. Popularitasnya semakin tinggi sejak 2012. Di AS saja ada setidaknya 1,6 juta orang yang berangkat traveling sembari menjadi relawan per 2014. Total uang yang dikeluarkan turis sebesar US$ 2 milyar atau setara Rp 26,5 triliun.
Meski berpotensi besar ---karena punya banyak daerah terpencil-- voluntourism masih belum populer di tanah air. Di Indonesia, satu-satunya biro perjalanan yang khusus menawarkan konsep ini adalah Travel Sparks. Pendiri sekaligus direktur pelaksana Travel Sparks Nila Tanzil mengatakan sekitar 90 persen kliennya adalah wisatawan asing. “Rata-rata dari Eropa, Amerika, yang memang well prepared untuk liburan,” kata dia.
Menurut Nila, rata-rata turis asing menikmati voluntourism untuk waktu yang lama, dua pekan hingga sebulan. Ia mengklaim beberapa kliennya dari luar negeri jadi ketagihan dan selalu datang kembali hampir tiap tahun. “Sekitar enam puluh persen datang bersama keluarga,” kata dia.
Ong Hock Chuan asal Malaysia, diantaranya. Nila mengajak keluarga Ong ke Taman Bacaan Pelangi di Pulau Komodo. “Anak saya berbagi ilmu sulap kartu dan temannya mengajarkan Bahasa Inggris melalui lagu anak-anak Australia,” kata Ong.
Menurut Ong, pengalaman tersebut sangat berharga untuk keluarganya. “Kegiatan di sana sangat menyenangkan bagi anak-anak dan orang dewasa,” ujarnya.
Nila mengatakan kegiatan ini bisa menjadi satu alternatif mendidik anak-anak. “Mereka belajar untuk berempati, menghargai keberagaman, menghormati alam, dan budaya lokal,” kata dia. Sebab, anak-anak diajak berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat yang notabene berbeda jauh cara hidupnya dari para turis yang tinggal di kota.
Nila membawa konsep voluntourism yang berfokus pada pendidikan di Indonesia Timur, khususnya Flores. Cara kerja yang dia tawarkan adalah dengan menyisipkan agenda volunteer di Taman Bacaan Pelangi di tengah-tengah agenda wisata. Misalnya setelah puas diving, trekking, snorkeling pada pekan pertama, turis diajak berbagi ilmu yang dia miliki pada pekan selanjutnya di Taman Bacaan Pelangi.
Menurut Nila, turis dapat melakukan apapun selama menjadi relawan. Misalnya, mengajar Bahasa Inggris, mengajar baca-tulis-hitung, dan mengajak anak-anak membuat karya seni lewat beragam cara. Seperti yang dilakukan oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik yang melakukan story telling untuk mengenalkan bahasa inggris.
Selama berwisata, Nila melanjutkan, para turis diajak menginap di rumah-rumah penduduk, meski ada sebagian sangat kecil yang hanya mau di penginapan komersial. Bahkan ada beberapa turis yang senang berkegiatan layaknya penduduk lokal.
Dalam voluntourism Nila, seluruh profit yang dihasilkan oleh biro perjalanannya disumbangkan untuk Taman Bacaan Pelangi. “Supaya organisasi ini dapat sustainable dan optimal memberikan akses buku bagi anak-anak di pelosok Indonesia Timur,” kata dia. Selain itu, Nila juga memberdayakan masyarakat setempat untuk mengelola biro perjalanan wisatanya, mulai dari pemandu, sopir, awak kapal. Biaya per wisatawan paling rendah Rp 4 juta untuk paket sekitar tiga sampai lima hari.
Asisten Deputi Pengembangan Strategi Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian Pariwisata Ratna Suranti mengatakan Travel Sparks memberi warna baru bagi industri pariwisata tanah air. “Bangga akhirnya Indonesia punya biro wisata yang membawa misi sosial,” kata dia
DINI PRAMITA