TEMPO.CO, Jakarta - Tali sepanjang 60 meter terbentang di ketinggian 1,6 meter di antara dua pohon itu. Perlahan-lahan, seorang pria paruh baya bernama Dadeng menitinya. Kedua lengannya terbentang demi menjaga keseimbangan.
Tiga pria lain ikut mengetes nyali di atas tali ini. Tapi belum sampai setengah meter, mereka berjatuhan seperti rumah kertas kena kipas angin. “Butuh konsentrasi tinggi untuk bisa melakukan olahraga ini,” kata Dadeng, di sela-sela latihannya di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, pekan lalu.
Jumpalitan di tali bak pemain sirkus seperti itu biasa dilakukan Pushing Panda, komunitas penyuka slackline--yakni olahraga keseimbangan di atas tali--asal Bandung. Dadeng mendirikan komunitas tersebut pada 2011. Awalnya, dia beserta beberapa temannya yang hobi memanjat tebing mencoba-coba memperkenalkan olahraga berjalan di atas tali kepada banyak orang. Di luar negeri, olahraga semacam itu sudah banyak dikembangkan untuk memberikan terapi kepada anak-anak hiperaktif. Dari perkenalan coba-coba itu, Dadeng cs tercetus membentuk komunitas.
Ada banyak trik berjalan di atas tali yang mereka pelajari. Di antaranya adalah longline yakni berjalan di atas tali yang dipasang kencang, rodeoline yang mirip dengan longline hanya talinya dipasang kendur, trickline yaitu gerakan melompat-lompat di atas tali, highline yakni meniti tali di atas ketinggian. Ada pula gerakan duduk bersila, memutar badan, dan lainnya.
Pushing Panda disebut-sebut sebagai kelompok pertama yang memperkenalkan kegiatan ini ke Indonesia. Tapi ada versi lainnya yang menyebutkan Harry Suliztiarto, tokoh panjat tebing di Indonesia, sebagai perintis slackline Indonesia pada 1983. Waktu itu dia baru kembali dari pendidikan di International School of Mountaineering Swiss dan membawa buku dan video tentang panjat tebing yang isinya melatih keseimbangan di atas kabel baja. Terakhir, ada pula yang menyebutkan slackline masuk Indonesia pertama kali pada 2008 lewat seorang pegiat panjat tebing Yogyakarta bernama Arka Setiawan.
Terlepas dari siapa pionirnya, Pushing Panda dikenal sebagai kelompok yang melakukannya dengan ekstrim. Banyak kegiatan edan yang mereka lakoni, termasuk menggelar highline di antara gedung-gedung di Jakarta. Mereka meniti tali 30 meter yang terbentang di ketinggian 60 meter.
Yang teranyar, 10 Februari lalu, mereka memecahkan rekor highline Indonesia. Mereka meniti tali di Tebing Parang, Purwakarta, Jawa Barat dengan ketinggian 909 meter di atas permukaan air laut. Di antara dua tebing itu mereka juga melakukan hammocking atau bersantai dengan ayunan kain. “Itu yang pertama di Indonesia,” ujar Dadeng.
Kegiatan boleh edan, tapi keselamatan tetap diutamakan. Pushing Panda pantang melakukan melangkah tanpa perencanaan dan pemeriksaan alat secara berulang. Tingkat kesulitan yang dihadapi tiap anggota pun berbeda-beda. Bagi para pemula, latihan longline dilakukan di atas tali sepanjang 3 meter dengan ketinggian 60 sentimeter. Makin mahir, tali yang dipasang makin panjang dan tinggi. Tidak ada batasan berapa lama anggota komunitas tersebut menguasai satu gerakan. Karena makin banyak waktu berlatih, semakin mahir dan semakin percaya diri untuk melakukan aksi.
Pushing Panda juga ingin menyebarkan virus kegemaran olahraga tali. Dalam waktu dekat, komunitas ini akan membuka kelas-kelas kecil untuk memperkenalkan kegiatan unik tersebut kepada masyarakat. Mereka juga akan melakukan perjalanan dari Bandung ke Lombok untuk membuat jalur jembatan highline. Jika jalur sudah dibuka, para pencinta kegiatan outdoor bisa leluasa untuk melakukan kegiatan seperti mereka di sana.
NUR ALFIYAH | DWI RENJANI (BANDUNG)