TEMPO.CO, Jakarta - Semua berawal dari rasa kagum Putu Yuni Widyadyani saat pertama kali bergabung di komunitas peduli lingkungan dan budaya, Kayon. Kala itu, ia dan teman-temannya belajar bahasa Inggris di alam terbuka sembari membuat listrik tenaga surya oleh sang pendiri komunitas, Agung Kayon.
"Kami diajarkan mencintai alam. Pak Agung membawa blender, alat-alatnya langsung dibawa ke perkebunan. Ada tomat, pepaya, kami bikin jus langsung di sana," kata Nuning, sapaan akrabnya, mengenang peristiwa 15 tahun lalu saat ditemui Tempo.
Sejak aktif di komunitas Kayon, Nuning menerapkan pengalamannya itu ke dalam aktivitas nyata, persis seperti yang dicontohkan Agung Kayon. Salah satunya, ketika diadakan program pembuatan biogas. Warga memanfaatkan limbah ternak sapi dan babi. "Tidak efektif cara belajar seperti kuliah diterapkan di kampung," kata lulusan Sastra Inggris Universitas Udayana yang menjadi koordinator Bahasa Inggris di Kayon.
Adapun di Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali, tempat berdirinya komunitas Kayon, berfokus pada pemanfaatan energi listrik tenaga surya. Tujuannya, agar setiap rumah memiliki panel surya. “Semoga satu tahun ini kami bisa bergerak menjadi pionir, agar desa-desa lain bisa mengikuti kami, karena itu termasuk target kami," ujar wanita berusia 27 tahun itu.
Komunitas yang berdiri sejak 24 Februari 1999 ini juga mendirikan radio komunitas Orang Biasa (ROB) di rumah Agung Kayon dengan energi tenaga surya. Radio ini berfungsi sebagai sarana sosialisasi program.
Menurut Nuning, komunitas ini juga berencana membuat alat-alat pertanian bertenaga surya, karena alat-alat tersebut diperlukan oleh Pemda, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan perhotelan. "Energi surya tidak berisik dibandingkan dengan mesin biasa, jadi tamu yang menginap di hotel tidak merasa bising."
MARTHA WARTHA
Baca juga:
Pilih 'Aliran' Make Up-mu: Barat atau Timur
BB Cushion: 1 Kemasan, 6 Manfaat untuk Kecantikan
Cerita Sophia Latjuba Ngamuk Saat Diatur Pakai Baju