TEMPO.CO, Jakarta - Meski terdengar klise, perbincangan soal problematika pasangan pekerja, di mana suami dan istri sama-sama bekerja, tak pernah ada habisnya. Majalah ekonomi Forbes pernah menurunkan dua opini yang memperdebatkan soal ini.
Michael Noer, sang editor, menulis dengan judul amat provokatif: Don't Marry Career Women. Dengan gaya pria konservatif, Noer mencoba meyakinkan pembaca bahwa menikahi perempuan pekerja adalah kesalahan besar yang dilakukan dalam hidup. “Sejumlah penelitian belakangan ini menunjukkan perempuan profesional lebih mudah bercerai, lebih mudah berselingkuh, dan kurang ingin memiliki anak,” tulis Noer.
Silakan saja bila Anda tidak setuju. Tapi Noer punya segepok hasil penelitian yang mendukung pendapatnya. Kalau para wanita pekerja itu berhenti bekerja dan diam di rumah dengan anak-anak, mereka tidak akan bahagia karena ada sesuatu yang tak tersalurkan. Perempuan profesional juga tidak akan bahagia saat mereka bergaji lebih besar daripada suaminya. Sementara itu, pria juga kurang senang jika dikalahkan soal gaji. Dan yang terpenting, di lingkungan kerja, kita bertemu dengan orang yang sesuai dengan diri kita dalam waktu yang lebih lama.
Yang menarik sebenarnya bukanlah pendapat Michael Noer di atas, melainkan bantahan terhadap tulisan itu, yang datang dari rekannya, Elizabeth Corcoran, wartawan Forbes untuk biro Silicon Valley. Judul tulisan wanita ini tak kalah seru: Don't Marry a Lazy Man. Corcoran tidak membantahnya dengan data dan penelitian tandingan. Ia cuma mengungkapkan apa yang sebenarnya diinginkan perempuan.
Ia meminta perempuan mengajukan pertanyaan berikut ini kepada suami masing- masing: kapan terakhir kali mereka mempelajari sesuatu yang berguna, baik dalam pekerjaan maupun di rumah?
Intinya, pria kerap selesai belajar dan berkembang begitu menikah. Setelah pria berhasil menaklukkan seorang gadis dan mengajaknya menikah, perjuangan pun berhenti. Mandek, para pria pun berubah menjadi robot dengan kegiatan rutin saja. “Catatan untuk para pria: mulailah pergi ke gym. Kemudian cobalah jenis musik baru, atau buku, atau film, tetap berhubungan dengan dunia yang berkembang. Kau akan berjaya, demikian juga dengan pernikahanmu,” demikian sarannya.
“Inti dari pernikahan yang baik, menurut saya, adalah kedua pasangan harus belajar berubah dan selalu mengadaptasi diri,” kata Corcoran. “Anak memberikan berton-ton perubahan. Para ibu merasakannya dalam sembilan bulan kehamilan, dimulai dengan berubahnya dimensi tubuh. Tapi para bapak harus ikut beradaptasi juga, dengan belajar mengasuh anak, mempelajari hal-hal baru tentang rumah tangga. Mereka harus dapat mengadaptasi perubahan pada para ibu,” dia menambahkan.
Untuk bisa saling mengadaptasi, seorang Psikolog Rosdiana menyarankan komunikasi. Kehidupan rumah tangga bisa bertahan lebih lanjut melalui komunikasi yang baik. Dia mencontohkan, jangan sekali-kali suami mengabaikan istri dari perhatian sepele tapi berarti. Mengingat ulang tahun, misalnya, atau membuatkan secangkir kopi yang sedap—meski sebenarnya bisa dibuatkan pembantu—bisa memuluskan pertalian kedua sejoli. “Justru hal-hal kecil ini yang bisa menjadi tolok ukur mempertahankan rumah tangga,” kata Rosdiana.
U-MAG | EVIETA FADJAR
Berita lainnya:
Biang Gosip Kantor
Cara Mendongkrak Rasa Percaya Diri
Tebarlah Tawa Saat Bekerja, Nikmati 5 Manfaat Ini