TEMPO.CO, Jakarta - Saat masih di bangku sekolah mungkin Anda termasuk anak terpintar di kelas, sering mendapat pujian, nilai yang bagus, atau bahkan dianggap berpotensi memiliki masa depan yang cerah. Tapi kemudian perpisahan, perpindahan atau putus sekolah mengubah jalan hidup Anda. Dan setelah beberapa tahun, Anda tidak merasakan kesuksesan seperti yang guru, keluarga, atau teman Anda katakan. Dan anda mulai mempertanyakan tentang “siapa?” diri Anda sebenarnya. Meskipun spesifiknya mungkin berbeda untuk orang yang berbeda, namun pasang surut seperti ini sangat umum terjadi. Bergantung pada intensitas perubahan hidup ini, hal itu dapat membuat beberapa orang mengalami krisis identitas.
Krisis identitas dapat dipahami sebagai transisi dari dari satu perasaan diri ke perasaan diri yang lain. Psikolog perkembangan Erik Erikson memperkenalkan konsep krisis identitas pada 1950-an. Studinya tentang identitas diri mengarah pada teori bahwa kita semua melalui tahap pertumbuhan tertentu menuju perkembangan kepribadian yang sehat sepanjang hidup kita. Beberapa dari kita mengalami perubahan hidup ini dengan sangat tiba-tiba, yang bisa terasa seperti krisis. Pembicaraan tentang transisi ini terkait dengan tahap kehidupan tertentu biasanya disebut, seperti mid-life atau quarter-life crisis. Krisis identitas dapat terjadi kapan saja selama konflik ketika cara kita memandang diri sendiri berbeda atau salah.
Penyebab krisis identitas
Krisis identitas bukanlah diagnosis mental atau penyakit. Sebaliknya, ini adalah "tahap perkembangan normal", menurut terapis berlisensi Aki Rosenberg. "Hanya kelompok usia 12 hingga 26 tahun yang dapat mengarah pada eksplorasi jati diri," jelasnya. Namun, ada banyak isu terkait lingkungan dan pengalaman hidup yang menimbulkan pertanyaan dan mungkin menimbulkan pertanyaan tentang identitas.
Menurut Rosenberg, beberapa situasi yang dapat memicu pertanyaan tersebut antara lain, pindah dari rumah, adanya perubahan pekerjaan, memasuki atau meninggalkan hubungan yang signifikan, kehilangan orang yang dicintai dan menjadi orang tua.
Ia juga menambahkan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut juga dapat menimbulkan perasaan krisis identitas ketika dikaitkan dengan pengalaman internal, seperti perasaan stagnasi, adanya kekhawatiran, mengalami sindrom imposter, serta depresi. Menggabungkan tantangan hidup baru dengan pengalaman emosional batin yang negatif dapat mengirim seseorang ke dalam apa yang disebut sebagai krisis identitas.
Terkadang kesadaran akan identitas seperti jenis kelamin, orientasi seksual, atau etnis juga dikaitkan dengan "krisis identitas". Misalnya, jika Anda dibesarkan oleh orang tua konservatif dalam peran gender tradisional dan menyadari bahwa Anda memang trans, dunia batin Anda mungkin merasakan keinginan kuat untuk mengubah dunia luar Anda sesuai dengan itu. Namun, karena banyaknya konsekuensi yang terwujud dalam hidup, Anda mungkin akan ragu, dan mungkin Anda masih merasa tidak percaya diri untuk mengekspresikan diri Anda sehingga menimbulkan perasaan bingung atau krisis batin.
"Bagi banyak dari kita yang memiliki banyak identitas, atau orang-orang yang terpinggirkan secara sistematis, ini sebenarnya dapat terjadi cukup sering karena kita menavigasi sistem yang tidak dibuat untuk kita," kata terapis Steph Tuazon.
Tanda krisis identitas
1. Terus bertanya tentang pertanyaan identitas yang sama
Momen introspeksi berguna untuk pengembangan diri. Namun, terkadang kita bisa terjebak dalam siklus tak berujung yang menanyakan pertanyaan yang sama. Mereka yang mengalami krisis identitas mungkin belum memiliki jawaban untuk memutus lingkaran pertanyaannya. Tuazon menambahkan beberapa pertanyaan umum ini yang mungkin sering dipertanyakan: siapa saya? Apakah penting semua yang saya lakukan? Apakah nilai-nilai saya cocok dengan itu (hubungan, aktivitas, pekerjaan)? Di mana saya terlibat? Apa tujuan hidup dan passion saya?
2. Tubuh terasa sakit
Terkadang tubuh dapat memberi tahu bahwa ada sesuatu yang salah tentang lingkungan sekitar. "Ketidakamanan tentang tubuh kita dapat membantu kita memahami apakah kita mengalami krisis identitas atau tidak - kita bisa merasa lelah, kurang termotivasi dan mudah tersinggung di tempat-tempat di mana kita biasanya merasa divalidasi," jelas Tuazon. Sinyal fisik dari tubuh kita ini berguna, dan karena itu bagian dari tugas kita adalah untuk menjaganya. Belajar merasakan kebijaksanaan batin dari apa yang ditawarkan tubuh Anda.
3. Menjalani sesuatu tidak sesuai dengan pikiran
Cara yang sangat umum bagi orang-orang untuk merasakan awal dari krisis identitas adalah bahwa mereka "melakukannya secara asal-asalan". Rosenberg mengatakan kliennya sering datang ke terapi mengatakan bahwa "hidup saya terlihat bagus di atas kertas" dan "tidak ada yang salah," tetapi mereka juga merasa sangat tidak puas atau tidak bahagia. Seringkali ada lapisan evaluasi tambahan yang menyertai, misalnya, "Apa yang salah dengan saya?" atau "Saya harus berhenti mengeluh." Pernyataan beserta penilaian bisa menjadi indikasi bahwa Anda sedang mengalami krisis identitas.
4. Hubungan di sekitar terasa berbeda
Mungkin Anda merasa sedikit putus asa karena lingkaran sosial Anda berubah. Banyak penelitian psikologis menunjukkan bahwa hubungan kita dengan orang lain memengaruhi cara kita memandang diri sendiri. Misalnya, sepertinya semua teman Anda telah menjadi ibu dan Anda adalah satu-satunya orang yang masih single di grup teman Anda. Hubungan Anda dengan teman-teman Anda sebagai ibu baru bisa membuat Anda mempertanyakan identitas diri Anda sendiri.
5. Panggilan suara hati
Suara batin Anda, pengetahuan batin, atau apa pun batin yang paling beresonansi dengan Anda mulai menjadi lebih keras. Seringkali suara hati Anda dimulai sebagai bisikan dan tumbuh sampai Anda mulai mendengarkannya. Suara batin Anda semakin keras karena ingin Anda memperhatikan sesuatu dalam hidup Anda.
6. Jika berusia di bawah 25 tahun
Anda tidak hanya menjadi lebih pintar seiring bertambahnya usia, tetapi otak Anda benar-benar berubah. "Otak kita belum sepenuhnya berkembang hingga kita berusia sekitar 25 tahun, jadi tentu saja identitas kita masih berubah," jelas Rosenberg.
Studi terbaru menunjukkan bahwa otak kita tidak sepenuhnya berkembang sampai usia 25 tahun. Yang terakhir berkembang adalah korteks frontal, yang berhubungan dengan kontrol perhatian dan impuls. Jadi pemikiran kita berubah secara neurobiologis di usia pertengahan 20-an.
NADIA RAICHAN FITRIANUR | MINDBODYGREEN
Baca juga: Miley Cyrus Mengalami Krisis Identitas Usai Berperan Sebagai Hannah Montana
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.